Sabtu, 19 Oktober 2019

Pelaksanaan Konversi Hak Atas Tanah Adat Menjadi Hak Milik di Kabupaten Bandung Barat


A.Pendahuluan
Kemakmuran yang adil dan merata hanya dapat dicapai melaui pembangunan. Setiap kegiatan pembangunan selalu memerlukan tanah. Dalam kehidupan manusia, tanah sebagai tempat untuk melanjutkan kehidupannya. Antara tanah dan manusia terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Pasal 33 atar (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa: 

              ‘’Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. ‘’

Untuk mencapai fungsi bumi, air dan ruang angkasa maka dibentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Sebelum berlakunya UUPA, hukum tanah Indonesia bersifat dualistis yaitu selain diakui berlakunya hukum tanah adat yang bersumber pada Hukum Adat, diakui pula peraturan-peraturan mengenai tanah yang didasarkan pada Hukum Barat.[1] Berlakunya peraturan-peraturan tersebut tentu saja menimbulkan berbagai masalah antar golongan yang tidak sesuai dengan cita-cita bangsa dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum.
Pada tanggal 24 September 1960 telah disahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Tujuan lahirnya UUPA yaitu:
1.      Untuk meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional.
2.      Untuk meletakkan dasar-dasar, mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
3.      Untuk meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Salah satu tujuan UUPA yaitu memberikan kepastian hukum mengenai hak atas tanah rakyat seluruhnya, terlebih hak atas tanah menurut hukum adat. Dengan berlakunya UUPA, hak atas tanah tersebut dikonversi menjadi hak atas tanah berdasarkan UUPA yaitu yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA. Hak atas tanah menurut hukum adat dirasa tidak memberikan kepastian hukum bagi pemiliknya. Dikatakan tidak memberikan kepastian hukum karena hak atas tanah tersebut belum dicatat atau didaftarkan.
Pemerintah mengadakan kegiatan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia guna memberikan jaminan kepastian hukum. Kepastian hukum di bidang pertanahan meliputi kepastian mengenai subjek (orang atau badan hukum), objek (letak, batas, dan luas), serta hak atas tanah. Pasal 19 ayat (1) UUPA menetukan bahwa:

“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.”

Ketentuan mengenai pendaftaran tanah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang kemudian pada tanggal 8 Juli 1997 diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Pendaftaran tanah pertama kali dilaksanakan guna memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah seseorang. Pendaftaran tanah untuk pertama kali atas tanah-tanah yang ada sebelum UUPA juga dapat disebut dengan istilah konversi. Konversi disini berarti perubahan atau penggantian hak-hak atas tanah dari status lama, yaitu sebelum  berlakunya UUPA menjadi hak atas tanah yang ditentukan UUPA.
Ketentuan-ketentuan konversi diatur dalam UUPA yaitu Pasal I sampai Pasal IX Ketentuan Konversi UUPA, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Agraria (PMA) Nomor 2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan beberapa ketentuan UUPA untuk Konversi Tanah Hak Barat dan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria (PMPA) Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konvensi dan Pendaftaran Bekas Hak Indonesia atas Tanah untuk Hak atas Tanah bekas Hak Adat.
Berdasarkan Pasal II ayat (1) Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA hak-hak atas tanah yang mirip dengan hak milik yaitu hak agrarisch eigendom, milik yayasan andarbeni, hak atas druwe, ha katas druwe desa, jesini, grant Sultan, landerijenbezitrech, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria dapat dikonversi menjadi hak milik.
Berdasarkan informasi dari Kantor Pertanahan di Kabupaten Bandung Barat, kesadaran masyarakat masih rendah dalam hal pendaftaran hak milik atas tanah. Masih banyak masyarakat yang memiliki bukti kepemilikan tanah berupa Letter C. Dengan petikan Letter C tersebut, masyarakat dapat menggunakannya sebagai bukti untuk melakukan konversi hak milik atas tanah adat guna mendapatkan setipikat sebagai tanda bukti ha katas tanah yang kuat. Umumnya yang mensertipikatkan tanahnya adalah mereka yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu misalnya akan meminjam uang di bank atau karena jual beli dan warisan. 

B. Identifikasi Masalah
1.      Bagaimana pelaksanaan konversi hak atas tanah adat menjadi hak milik?

C.Pembahasan
1.      Tinjauan mengenai konversi hak atas tanah
Terjadinya hak milik karena ketentuan undang-undang adalah atas dasar Ketentuan Konversi UUPA. Pengertian konversi hak-hak atas tanah ialah perubahan ha katas tanah sehubungan dengan berlakunya UUPA. Hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA diubah menjadi hak-hak atas tanah yang ditetapkan dalam UUPA (Pasal 16).[2] Konversi hak-hak atas tanah dapat digolongkan menjadi dua bagian:
a)      Untuk konversi hak atas tanah bekas hak barat.
b)      Untuk konversi hak atas tanah adat.
Selanjutnya yang akan dibahas hanya mengernai konversi bekas hak atas tanah adat saja.
Berdasarkan Pasal II Ketentuan Konversi UUPA hak-hak atas tanah seperti hak agrarisch eigendom, milik yayasan andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, jesini, grant Sultan, landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak berlakunya Undang-Undang ini dapat dikonversi menjadi hak milik.
Berdasarkan Pasal VII ayat (1) Ketentuan Konversi UUPA, hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap, sejak berlakunya Undang-Undang ini juga dapat dikonversi menjadi hak milik.
Konversi bekas hak atas tanah adat diatur lebih lanjut dalam PMPA Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak Indonesia Atas Tanah. Dalam Pasal 1 PMPA Nomor 2 Tahun 1962 ditentukan bahwa:
“Atas permohonan yang berkepentingan, makan konversi hak-hak yang disebut dalam Pasal II dan VI Ketentuan-Ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria menjadi hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai dapat ditegaskan menurut ketentuan-ketentuan. Peraturan ini dan didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (LN Tahun 1961 No.28), sepanjang Peraturan Pemerintah tersebut sudah mulai diselenggarakan didaerah yang bersangkutan.”
            Berdasarkan ketentuan tersebut maka pelaksanaan konversi harus jelas macam dan subjek haknya. Dalam pendaftaran bekas hak-hak atas tanah adat diperlukan penegasan tentang jenis haknya yang lama dan penegasan konversinya menjadi hak apa, baru kemudian dapat dilakukan pendaftaran.
            Untuk mengajukan permohonan konversi makan harus dilampirkan:
a.       Tanda bukti haknya (jika ada, juga surat ukurnya)
b.      Tanda bukti kewarganegaraanya pada tanggal 24 September 1960
c.       Keteranfan tentang tanahnya apakah tanah untuk perumahan ataupun untuk pertanian.[3]
Hak-hak atas tanah yang ada sebelum UUPA berlaku, khususnya hak atas adat oleh ketentuan-ketentuan konversi UUPA diubah menjadi salah satu ha katas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA. Prinsipnya ialah hak yang lama diubah menjadi hak yang sama atau hampir sama wewenang pemegang haknya.

D.Kesimpulan
Pelaksanaan konversi hak atas tanah adat (Letter C) menjadi hak milik di Kabupaten Bandung Barat sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku di Badan Pertanahan Nasional.
Kendala-kendala dalam pelaksanaan konversi berupa persyaratan yang kurang lengkap dan domisili yang jauh. Kendala-kendala tersebut dapat diatasi dan tidak terlalu menjadi masalah yang sangat menghambat dalam proses pelaksanaan konversi hak milik atas tanah.


[1] Adrian Sutedi, 2006, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hlm1.
[2] Effendi Pernaginangin, 1986, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, CV Rajawali, Jakarta, hal 145.
[3] A.P Parlindungan, 1985, Pendaftaran dan Konversi Hak-hak atas Tanah menurut UUPA, Alumni, Bandung, hal 127.

Selasa, 15 Oktober 2019

PERBANDINGAN UU NO 5 TAHUN 1960 DAN PERATURAN PEMERINTAH NO 40 TAHUN 1996


      A. PENGERTIAN 

  1. Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun. Hak Guna Usaha adalah hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri guna perusahaan, pertanian, perikanan dan sebagainya. 
  2. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Tidak mengenai tanah pertanian, oleh karena itu dapat diberikan atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara maupun tanah milik seseorang.  
  3. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan No.5 Tahun 1960. Hak Pakai diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu; Hak Pakai dapat diberikan dengan Cuma-Cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.



1. Hak Guna Usaha 
Dalam hal jangka waktu UU No.5 tahun 1960 menyatakan dalam pasal 29 Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun. Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna usaha untuk waktu paling lama 35 tahun. Namun atas permintaan Pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam pasal 29 ayat 1 dan 2 bahwa dapat meminta perpanjangan hak nya dengan waktu paling lama menjadi  25 tahun. Dan dinyatakan juga dalam PP No.40 tahun 1996 pasal 8 ayat 1 bahwa Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun. Sesudah jangka waktu Hak Guna Usaha dan perpanjangannya berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah yang sama.
Sedangkan menurut PP No.40 tahun 1996 pasal 9 ayat 1 Hak Guna Usaha dapat diperpanjang atas permohonan pemegang hak, jika memenuhi syarat :
1.  tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut;
2.     syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
3.     pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha atau Pembaharuannya diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha tersebut. Dan Perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan.
Hak Guna Usaha ini diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar.dengan ketentuan Jika luas Hak Guna Usaha 25 hektar atau lebih, maka harus menggunakan investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, disesuaikan dengan perkembangan zaman (dinyatakan dalam pasal 28 ayat 2 UU No. 5 tahun 1960). Dan dinyatakan juga dalam PP No. 40 tahun 1996 bahwa luas minimum tanah yang dapat diberikan Hak Guna Usaha adalah lima hektar. Sedangkan Luas maksimum tanah yang dapat diberikan Hak Guna Usaha kepada perorangan adalah dua puluh lima hektar. Luas maksimum tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada Badan Hukum ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan, dengan mengingat luas yang diperlukan untuk pelaksanaan suatu satuan usaha yang paling berdayaguna di bidang yang bersangkutan.
Yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha yang mana dinyatakan dalam pasal 30 ayat 1 dan 2 UU No.5 tahun 1960 dan PP No.40 tahun 1996 pasal 2 dan pasal 3 ayat (1) dan (2) yaitu :
1. Warga Negara Indonesia;
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum di Indonesia, serta berkedudukan di Indonesia.
Apabila Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat 1 pasal 30 dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika hak guna usaha yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan tanahnya menjadi tanah negara.
PP No.40 tahun 1996 pasal 4 menyatakan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah Negara. Apabila tanah yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha itu adalah tanah Negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian Hak Guna Usaha dapat dilakukan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan. Dan apabila Pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai ketentuan yang berlaku, pelaksanaan ketentuan Hak Guna Usaha tersebut baru dapat dilaksanakan setelah terselesaikannya pelepasan hak tersebut sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini apabila tanah yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha itu terdapat tanaman dan/atau bangunan milik pihak lain yang keberadaannya berdasarkan alas hak yang sah, pemilik bangunan dan tanaman tersebut diberi ganti kerugian yang dibebankan pada pemegang Hak Guna Usaha baru
Terjadinya Hak Guna Usaha yang mana dinyatakan dalam pasal 31 UU No.5 tahun 1960 bahwa Hak Guna Usaha terjadi karena penetapan pemerintah, dan menurut PP No.40 tahun 1996 bahwa terjadinya Hak Guna Usaha adalah diberikan dengan keputusan hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk
Hak Guna Usaha dapat dijadikan sebagai jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Sebagaimana hak yang lain, hak ini pun dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain.yang mana dinyatakan didalam pasal 33 UU No.5 Tahun 1960.pernyataan ini juga dinyatakan didalam PP No.5 Tahun 1996 pasal 15 yang menyatakan bahwa Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan yang mana Hak Tanggung hapus dengan hapusnya Hak Guna Usaha
Menurut pasal 34 UU No.5 tahun 1960 Hak Guna Usaha ini tidak berlaku lagi/hapus ketika:
1. jangka waktunya berakhir;
2. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena ada syarat yang tidak dipenuhi;
3. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
4. dicabut untuk kepentingan umum;
5. ditelantarkan;
6. tanahnya musnah,
7. orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Usaha namun tidak lagi memenuhi syarat 
sedangkan menurut PP No.40 Tahun 1996 pasal 17 yang menyatakan apabila Hak Guna Usaha hapus/tidak berlaku lagi karena :
1. berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya;
2. dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena:
a. tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuanketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13 dan/atau Pasal 14;
b. putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
3. dilepaskan secara sukarela oleh pemgang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
4. ditelantarkan;
5. tanahnya musnah.

2. Hak Guna Bangunan
Didalam PP No.40 Tahun 1996 pasal 25 menyatakan bahwa jangka waktu Hak Guna Bangunan adalah jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun. Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan di atas tanah yang sama.
Yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan menurut UU No.5 tahun 1960 dan PP No.40 tahun 1996 adalah hanya dapat diberikan kepada :
1.      Warga Negara Indonesia 
2.      Badan hukum yang didirikan menurut hukum di Indonesia, serta berkedudukan di Indonesia.
Namun orang atau badan hukum yang mempunyai hak bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat tersebut dalam 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga kepada pihak yang memperoleh hak guna bangunan, jika ia tiddak memenuhi syarat-syarat tersebut jika hak guna bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dangan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Terjadinya Hak Guna Bangunan menurut UU No.5 Tahun 1960 pasal 37 adalah  apabila Tanah yang dikuasai langsung oleh negara dapat menjadi hak guna bangunan berdasarkan penetapan pemerintah. Sedangkan tanah milik dapat menjadi Hak Guna Bangunan karena adanya perjanjian berbentuk otentik antara pemilik tanah dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan. Dan dinyatakan didalam PP No.40 tahun 1996 pasal 22 yang menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan atas tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk dan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasar-kan usul pemegang Hak Pengelolaan.
Hak Guna Bangunan dapat dijadikan sebagai jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Hak ini dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain (dinyatakan didalam UU No.5 tahun 1960 pasal 39). Dan dinyatakan juga didalam pasal 33 PP No.5 tahun 1996 yang menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Hak Tanggungan hapus dengan hapusnya Hak Guna Bangunan.
Menurut UU no.5 tahun 1960 pasal 40 menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan ini dinyatakan hapus/tidak berlaku lagi ketika:
1. jangka waktunya berakhir;
2. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena ada syarat yang tidak dipenuhi;
3. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
4. dicabut untuk kepentingan umum;
5. ditelantarkan;
6. tanahnya musnah
7. orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan namun tidak lagi memenuhi syarat tersebut dalam ayat 1 pasal 36, dalam jangka waktu 1 tahun sehingga wajib melepaskan atau mengalihkan haknya kepada pihak lain yang memenuhi syarat  Jika tidak dilepaskan atau dialihkan maka Hak Guna Bangunan tersebut maka hak itu hapus karena hukum (ketentuan dalam pasal 36 ayat 2 ) sedangkan menurut PP No.40 Tahun 1996 menyatakan apabila Hak Guna Bangunan ini hapus/tidak berlaku lagi ketika :
1. berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya;
2. dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir, karena :
a. tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuanketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 32 PP No.40 tahun 1996;
b. tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan;
c. putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
3. dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;
4. dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;
5. ditelantarkan;
6. tanahnya musnah. 

3. Hak Pakai

Ketentuan mengenai Hak Pakai terdapat dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 UUPA. Pengaturan lebih lanjut mengenai Hak Pakai diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, yang secara khusus diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 58. Yang dimaksudkan dengan Hak Pakai menurut Pasal 41 ayat (1) UUPA, adalah: ”Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dengan perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini”.
 Pasal 41 UUPA menyebutkan bahwa ciri-ciri Hak Pakai, adalah :
a.    Wewenang pemegang Hak Pakai terhadap tanahnya adalah mempergunakan tanah untuk kepentingan mendirikan bangunan, juga dipergunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan.
b.    Asal tanah Hak Pakai adalah di samping terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, juga dapat terjadi pada tanah Hak Milik;
c.    Cara terjadinya Hak Pakai adalah untuk Hak Pakai yang terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh negara melalui keputusan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang, sedangkan Hak Pakai yang terjadi pada tanah Hak Milik terjadi melalui perjanjian penggunaan tanah antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Pakai.
d.   Hak Pakai dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
Pasal 42 UUPA menetapkan bahwa yang yang dapat mempunyai Hak Pakai atas tanah, adalah :
a.    warga Negara Indonesia;
b.    orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c.    badan hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d.   badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. 
Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 memperluas pihak yang dapat mempunyai Hak Pakai atas tanah, yaitu :
a.    Warga Negara Indonesia;
b.    Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
c.    Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
d.   Badan-badan keagamaan dan badan sosial;
e.    Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
f.     Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
g.    Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.
Dari aspek asal tanah Hak Pakai, ada perbedaan antara UUPA dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996. Pasal 41 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa Hak Pakai dapat berasal dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dan Hak Pakai yang berasal dari tanah Hak Milik. Pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 memperluas asal tanah Hak Pakai, yaitu Hak Pakai atas tanah Negara, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan, dan Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
Berdasarkan asal tanahnya, terjadinya Hak Pakai dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.    Hak Pakai atas tanah Negara.
Hak Pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPNRI) atau pejabat BPNRI yang diberi pelimpahan kewenangan memberikan hak atas tanah. Hak Pakai ini terjadi sejak Surat Keputusan Pemberian Hak Pakai didaftarkan oleh pemohon Hak Pakai kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan sertipikat sebagai tanda bukti haknya.
Prosedur perolehan Hak Pakai melalui pemberian hak diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
b.    Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan
Hak Pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan setelah dibuatkan Perjanjian Penggunaan Tanah antara pemegang Hak Pengelolaan dengan calon pemegang Hak Pakai. Hak Pakai ini terjadi sejak Surat Keputusan Pemberian Hak Pakai didaftar oleh pemohon Hak Pakai kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan untuk dicatat dalam Buku tanah dan diterbitkan sertipikat sebagai tanda bukti haknya.
c.    Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
Hak Pakai ini terjadi dengan pemberian tanah oleh pemilik tanah dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akta PPAT ini wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan untuk dicatat dalam Buku Tanah. Hak Pakai ini tidak diterbitkan sertipikat sebagai tanda bukti haknya.
Pasal 41 ayat (2) UUPA tidak menentukan secara tegas jangka waktu penguasaan Hak Pakai. Pasal ini hanya menentukan bahwa Hak Pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu, atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 secara tegas ditentukan jangka waktu Hak Pakai berdasarkan asal tanahnya, yaitu :
a.    Hak Pakai atas tanah Negara.
Hak Pakai ini berjangka waktu untuk pertam kalinya paling lama 25 (duapuluh lima) tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (duapuluh) tahun, dan dapat diperbaharui haknya untuk jangka waktu paling lama 25 (duapuluh lima) tahun.
Khusus Hak Pakai yang dipunyai oleh Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah, badan-badan keagaman dan badan sosial, perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Pakai diajukan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Pakai tersebut. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Pakai dicatat dalam Buku Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.
b.    Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan
Hak Pakai ini berjangka waktu untuk pertama kalinya paling lama 25 (duapuluh lima) tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (duapuluh) tahun, dapat diperbaharui haknya untuk jangka waktu paling lama 25 (duapuluh lima) tahun.
Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Pakai ini dapat dilakukan atas usul pemegang Hak Pengelolaan.
c.    Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
Hak Pakai ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 (duapuluh lima) tahun dan tidak dapat diperpanjang. Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Pakai dapat diperbaharui haknya dengan pemberian Hak Pakai baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan untuk dicatat dalam Buku Tanah.
Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan jangka waktu, dan pembaharuan Hak Pakai dapat dilakukan sekaligus dengan pembayaran uang pemasukan yang ditentukan pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Pakai. Persetujuan untuk pemberian perpanjangan jangka waktu dan pembaharuan Hak Pakai, serta perincian uang pemasukan dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Pakai.
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 menetapkan kewajiban-kewajiban pemegang Hak Pakai terhadap tanahnya, yaitu :
a. membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya, perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
b. menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberiannya, atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan, atau perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
c. memelihara tanah dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;
d. menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan, atau pemilik tanah sesudah Hak Pakai tersebut hapus;
e. menyerahkan sertipikat Hak Pakai yang telah hapus kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat; dan
f.  memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung oleh tanah Hak Pakai.
Hak-hak pemegang Hak Pakai terhadap tanahnya ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, yaitu :
a. menguasai dan mempergunakan tanah Hak Pakai selama jangka waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya;
b.  memindahkan Hak Pakai kepada pihak lain;
c.  membebaninya dengan Hak Tanggungan;
d. menguasai dan menggunakan tanah untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.

Peralihan Hak Pakai Atas Tanah.
Ada 2 bentuk peralihan hak atas tanah yang diatur dalam UUPA, yaitu :
1.    Beralih
Beralih artinya berpindahnya hak atas tanah dari pemegang haknya kepada pihak lain disebabkan oleh suatu peristiwa hukum. Dengan meninggalnya pemegang hak atas tanah, maka hak atas tanah secara hukum berpindah kepada ahli warisnya sepanjang ahli warisnya memenuhi syarat sebagai subyek hak atas tanah yang diwariskan.
2.    Dialihkan/pemindahan hak.
Dialihkan/pemindahan hak artinya berpindahnyahak atas tanah dari pemegang haknya kepada pihak lain disebabkan oleh suatu perbuatan hukum. Contoh perbuatan hukum, yaitu jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan, lelang.
Pasal 43 UUPA mengatur peralihan Hak Pakai berdasarkan asal tanah Hak Pakai, yaitu :
a.    Hak Pakai atas tanah negara.
Hak Pakai ini hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang.
b.    Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
Hak Pakai ini hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
Peralihan Hak Pakai yang diatur dalam UUPA hanya sebatas pada bentuk dialihkan, sedangkan peralihan Hak Pakai yang berbentuk beralih tidak diatur. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan peralihan Hak Pakai atas tanah negara maupun atas tanah Hak Milik.
Untuk mengatasi permasalahan peralihan Hak Pakai ini, Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 lebih rinci mengatur peralihan Hak Pakai. Berdasarkan asal tanahnya, peralihan Hak Pakai dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.    Hak Pakai atas tanah Negara.
Hanya Hak Pakai atas tanah Negara yang berjangka waktu tertentu dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, sedangkan Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan unuk keperluan tertentu tidak dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Peralihan Hak Pakai atas tanah Negara harus dilakukan dengan izin dari pejabat yang berwenang, yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN).
b.    Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan.
Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Peralihan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan harus dilakukan dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Pengelolaan.
c.    Hak Pakai atas tanah Hak Milik
Hak Pakai atas tanah Hak Milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain apabila hal tersebut dimungkinkan dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Milik perseorangan.
Peralihan Hak Pakai atas tanah Hak Milik harus dilakukan dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemilik tanah yang bersangkutan.
Hak Pakai atas tanah Negara yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu, yang diberikan kepada Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah, perwakilan negara asing, perwakilan badan internasional, dan badan-badan keagamaan dan sosial tidak dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Hak Pakai yang dipunyai oleh badan hukum publik ada right to use, yaitu mempergunakannya untuk waktu yang tidak terbatas selama pelaksanaan tugas, namun tidak ada right of dispossal, yang dimaksud disini adalah tidak dapat dialihkan dalam bentuk apapun kepada pihak ketiga dan juga tidak dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan. Pihak lain yang membutuhkan Hak Pakai atas tanah ini dapat menempuh melalui pelepasan atau penyerahan hak atas tanah oleh pemegang Hak Pakai dengan pemberian ganti kerugian oleh pihak yang memerlukan tanah tersebut kepada pemegang Hak Pakai. Dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah ini, tanah kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara untuk kemudian dimohon dengan hak atas tanah yang baru oleh pihak yang memerlukan Hak Pakai tersebut.


Prosedur beralih dan dialihkan Hak Pakai atas tanah dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.    Beralih
Peralihan Hak Pakai atas tanah yang berbentuk beralih karena pewarisan harus dibuktikan dengan adanya surat wasiat atau surat keterangan sebagai ahli waris yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, surat keterangan kematian pemegang Hak Pakai yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, bukti identitas para ahli waris, sertipikat Hak Pakai yang bersangkutan.
Prosedur peralihan Hak Pakai atas tanah karena pewarisan diatur dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 jo Pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Pasal 111 dan Pasal 112 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun1997 tentang Pendaftaran Tanah.
b.    Dialihkan.
Peralihan Hak Pakai atas tanah yang berbentuk dialihkan karena jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT, kecuali lelang harus dibuktikan dengan Berita Acara Lelang atau Risalah Lelang yang dibuat oleh pejabat dari Kantor Lelang.
Prosedur peralihan Hak Pakai atas tanah karena jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan diatur dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 jo Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 97 sampai dengan Pasal 106 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997.
Prosedur peralihan Hak Pakai atas tanah karena lelang diatur dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 jo Pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 107 sampai dengan Pasal 110 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997.
Peralihan Hak Pakai atas tanah yang  berbentuk beralih dan dialihkan wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan wajib dicatat dalam Buku Tanah dan dilakukan perubahan nama pemegang hak dalam sertipikat Hak Pakai dari pemegang Hak Pakai semula menjadi pemegang Hak Pakai yang baru.

Pembebanan Hak Pakai Atas Tanah.
Dari macam-macam hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 53 UUPA, UUPA menetapkan bahwa hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik (Pasal 25), Hak Guna Usaha (Pasal 33), dan Hak Guna Bangunan (Pasal 39). Hak Pakai atas tanah tidak termasuk hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Dalam perkembangannya, Hak Pakai atas tanah negara dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 13 Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, yaitu: ”Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 12 hak milik atas satuan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dapat dijadikan jaminan utang dengan :
a.    dibebani hipotik, jika tanahnya tanah hak milik atau hak guna bangunan;
b.    dibebani fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah Negara.
Hak Pakai yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia dalam Undang-undang No. 16 Tahun 1985 hanya terbatas pada Hak Pakai atas tanah Negara yang di atasnya dibangun rumah susun. Pada rumah susun ada bagian yang dapat dimiliki secara perseorangan dan terpisah yang disebut hak milik atas satuan rumah susun, dan ada bagian pada rumah susun yang dimiliki secara bersama-sama oleh seluruh pemilik satuan rumah susun, berupa bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Setelah 36 tahun berlakunya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA), disahkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, atau dikenal dengan sebutan Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT). Undang-undang No. 4 Tahun 1996 merupakan pelaksanan Pasal 51 UUPA, yaitu : ”Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, Pasal 33, dan Pasal 39 diatur dengan Undang-undang”. Dengan disahkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996, maka terwujudlah unifikasi hukum, khususnya dalam bidang hak jaminan atas tanah.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 4 Tahun 1996, yang dimaksud dengan : ”Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”.
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang No. 4 Tahun 1996 ditegaskan bahwa hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan harus memenuhi syarat-syarat, yaitu :
1.    Hak atas tanah tersebut menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan;
2.    Hak atas tanah tersebut menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif, artinya apabila salah satu syarat tidak dipenuhi, maka hak atas tanah tersebut tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani HakTanggungan.
Syarat-syarat hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan dinyatakan oleh I. Soegiarto, yaitu :
1.    Dapat dinilai dengan uang (karena utang yang dijamin berupa uang);
2.    Merupakan hak yang telah didaftarkan (daftar umum pendaftaran tanah sebagai syarat untuk memenuhi asas publisitas);
3.    Bersifat dapat dipindahtangankan (dalam hal debitor cidera janji benda tersebut dapat dijual di muka umum); dan
4.    Memerlukan penunjukan dengan peraturan perundang-undangan.
Sependapat dengan I. Soegiarto, secara lebih singkat Boedi Harsono menyatakan bahwa untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, obyek yang bersangkutan harus memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu :
1.    Dapat dinilai dengan uang;
2.    Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum;
3.    Mempunyai sifat yang dapat dipindahtangankan;
4.    Memerlukan penunjukan oleh Undang-undang.
Sebelum disahkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996, Hak Pakai atas tanah sudah didaftar dan dapat dipindahtangankan, namun hak atas tanah ini tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan disebabkan UUPA tidak menunjuknya. Pendaftaran Hak Pakai atas tanah di samping diatur dalam Pasal 41 UUPA juga ditegaskan dalam Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1966 tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan.
Mengingat Hak Pakai atas tanah didaftar dan dapat dipindahtangankan, maka pembentuk UUPA menampungnya menjadi salah satu obyek Hak Tanggungan. Undang-undang No. 4 Tahun 1996 menetapkan syarat, yaitu Hak Pakai yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
Subyek Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, sehingga dapat dibebani Hak Tanggungan, yaitu :
a.    Hak Pakai atas tanah Negara yang dipunyai oleh perseorangan, baik warga Negara Indonesia maupun warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia.
b.    Hak Pakai atas tanah Negara yang dipunyai oleh badan hukum privat, baik badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia maupun badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.  
Subyek Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya tidak dapat dipindahtangankan, sehingga tidak dapat dibebani Hak Tanggungan, yaitu Hak Pakai atas tanah Negara yang dipunyai oleh :
a.    Departemen.
b.    Lembaga Pemerintah Non Departemen.
c.    Lembaga-lembaga Negara.
d.   Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
e.    Perwakilan negara asing.
f.     Perwakilan badan internasional.
g.    Badan-badan keagamaan dan sosial.
Hak Pakai yang dipunyai oleh badan hukum publik ada right to use, yaitu mempergunakannya untuk waktu yang tidak terbatas selama pelaksanaan tugas, namun tidak ada right of dipossal, yang dimaksud disini adalah tidak dapat dialihkan dalam bentuk apapun kepada pihak ketiga dan juga tidak dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan.
Di luar Undang-undang No. 4 Tahun 1996, yaitu dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 ditetapkan bahwa Hak Pakai atas tanah Negara dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Kalau dilihat dari syarat-syarat hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan menurut Undang-undang No. 4 Tahun 1996, maka Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan merupakan hak atas tanah yang wajib didaftar dan dapat dipindahtangankan dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan. Atas dasar pemenuhan syarat-syarat Hak Tanggungan, maka Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan juga dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Prosedur pembebanan Hak Pakai atas tanah dengan Hak Tanggungan diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 jo Pasal 53 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 jo Pasal 44 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 114 sampai dengan Pasal 119 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997. Adapun tahapan-tahapan pembebanan Hak Pakai atas tanah dengan Hak Tanggungan dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.    Adanya perjanjian utang piutang sebagai perjanjian pokoknya.
Perjanjian utang piutang antara pemegang Hak Pakai atas tanah sebagai debitor dengan pihak lain (bank) sebagai kreditor, dapat dibuat dalam bentuk akta autentik, yaitu dibuat oleh Notaris, atau dibuat dengan akta di bawah tangan, yaitu akta yang dibuat sendiri oleh debitor dan kreditor.
Perjanjian utang piutang merupakan perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang antara pemegang Hak Pakai atas tanah sebagai debitor dengan pihak lain (bank) sebagai kreditor.
2.    Adanya pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagai perjanjian ikutan (tambahan).
Untuk memberikan jaminan utang debitor kepada kreditor, debitor menyerahkan Hak Pakai atas tanah sebagai jaminan utang kepada kreditor.
Penyerahan jaminan ini bersifat accessoir, artinya sebagai perjanjian ikutan atau perjanjian tambahan dari perjanjian pokok. Perjanjian accessoir merupakan perjanjian ikutan yang menimbulkan hubungan hukum penjaminan atas perjanjian pokok.
Keberadaan, berakhir, dan hapusnya Hak Tanggungan dengan sendirinya tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya.
Penyerahan jaminan oleh pemegang Hak Pakai atas tanah kepada bank sebagai pemberian Hak Tanggungan harus dilakukan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
3.    Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan, PPAT wajib mendaftarkan akta tersebut kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota membuatkan Buku Tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam Buku Tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada Sertipikat Hak Pakai atas tanah yang bersangkutan. Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan dan mengikatnya hak tersebut terhadap pihak ketiga karena telah memenuhi asas publisitas.
Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak yang bersangkutan menerbitkan Sertipikat Hak Tanggungan, yang di dalamnya memuat irah-irah dengan kata-kata ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
PPAT menyerahkan Sertipikat Hak Tanggungan tersebut kepada pemegang Hak Tanggungan, yaitu bank.


Kesimpulan
Hak Pakai atas tanah negara terjadi melalui keputusan pemberian hak oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan terjadi melalui keputusan pemberian hak oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atas usul pemegang Hak Pengelolaan, dan Hak Pakai atas tanah Hak Milik terjadi melalui pemberian Hak Pakai oleh pemilik tanah dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Hak Pakai atas tanah Negara dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan diterbitkan sertipikat sebagai tanda bukti haknya oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak Milik hanya dicatat dalam Buku Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.
Hak Pakai atas tanah Negara dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan diberikan untuk jangka waktu tertentu yang dapat diperpanjang jangka waktunya dan diperbaharui haknya. Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu tertentu yang tidak dapat diperpanjang jangka waktunya, akan tetapi dapat diperbaharui haknya atas dasar kesepakatan kedua belah pihak. Hak Pakai atas tanah yang bersifat publik diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
Hak Pakai atas tanah yang bersifat privat dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain maupun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Sebaliknya, Hak Pakai atas tanah yang bersifat publik tidak dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain maupun tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Hak Pakai atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Pakai atas tanah Negara dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan yang menurut ketentuannya wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.