Sabtu, 19 Oktober 2019

Pelaksanaan Konversi Hak Atas Tanah Adat Menjadi Hak Milik di Kabupaten Bandung Barat


A.Pendahuluan
Kemakmuran yang adil dan merata hanya dapat dicapai melaui pembangunan. Setiap kegiatan pembangunan selalu memerlukan tanah. Dalam kehidupan manusia, tanah sebagai tempat untuk melanjutkan kehidupannya. Antara tanah dan manusia terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Pasal 33 atar (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa: 

              ‘’Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. ‘’

Untuk mencapai fungsi bumi, air dan ruang angkasa maka dibentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Sebelum berlakunya UUPA, hukum tanah Indonesia bersifat dualistis yaitu selain diakui berlakunya hukum tanah adat yang bersumber pada Hukum Adat, diakui pula peraturan-peraturan mengenai tanah yang didasarkan pada Hukum Barat.[1] Berlakunya peraturan-peraturan tersebut tentu saja menimbulkan berbagai masalah antar golongan yang tidak sesuai dengan cita-cita bangsa dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum.
Pada tanggal 24 September 1960 telah disahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Tujuan lahirnya UUPA yaitu:
1.      Untuk meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional.
2.      Untuk meletakkan dasar-dasar, mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
3.      Untuk meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Salah satu tujuan UUPA yaitu memberikan kepastian hukum mengenai hak atas tanah rakyat seluruhnya, terlebih hak atas tanah menurut hukum adat. Dengan berlakunya UUPA, hak atas tanah tersebut dikonversi menjadi hak atas tanah berdasarkan UUPA yaitu yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA. Hak atas tanah menurut hukum adat dirasa tidak memberikan kepastian hukum bagi pemiliknya. Dikatakan tidak memberikan kepastian hukum karena hak atas tanah tersebut belum dicatat atau didaftarkan.
Pemerintah mengadakan kegiatan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia guna memberikan jaminan kepastian hukum. Kepastian hukum di bidang pertanahan meliputi kepastian mengenai subjek (orang atau badan hukum), objek (letak, batas, dan luas), serta hak atas tanah. Pasal 19 ayat (1) UUPA menetukan bahwa:

“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.”

Ketentuan mengenai pendaftaran tanah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang kemudian pada tanggal 8 Juli 1997 diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Pendaftaran tanah pertama kali dilaksanakan guna memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah seseorang. Pendaftaran tanah untuk pertama kali atas tanah-tanah yang ada sebelum UUPA juga dapat disebut dengan istilah konversi. Konversi disini berarti perubahan atau penggantian hak-hak atas tanah dari status lama, yaitu sebelum  berlakunya UUPA menjadi hak atas tanah yang ditentukan UUPA.
Ketentuan-ketentuan konversi diatur dalam UUPA yaitu Pasal I sampai Pasal IX Ketentuan Konversi UUPA, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Agraria (PMA) Nomor 2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan beberapa ketentuan UUPA untuk Konversi Tanah Hak Barat dan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria (PMPA) Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konvensi dan Pendaftaran Bekas Hak Indonesia atas Tanah untuk Hak atas Tanah bekas Hak Adat.
Berdasarkan Pasal II ayat (1) Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA hak-hak atas tanah yang mirip dengan hak milik yaitu hak agrarisch eigendom, milik yayasan andarbeni, hak atas druwe, ha katas druwe desa, jesini, grant Sultan, landerijenbezitrech, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria dapat dikonversi menjadi hak milik.
Berdasarkan informasi dari Kantor Pertanahan di Kabupaten Bandung Barat, kesadaran masyarakat masih rendah dalam hal pendaftaran hak milik atas tanah. Masih banyak masyarakat yang memiliki bukti kepemilikan tanah berupa Letter C. Dengan petikan Letter C tersebut, masyarakat dapat menggunakannya sebagai bukti untuk melakukan konversi hak milik atas tanah adat guna mendapatkan setipikat sebagai tanda bukti ha katas tanah yang kuat. Umumnya yang mensertipikatkan tanahnya adalah mereka yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu misalnya akan meminjam uang di bank atau karena jual beli dan warisan. 

B. Identifikasi Masalah
1.      Bagaimana pelaksanaan konversi hak atas tanah adat menjadi hak milik?

C.Pembahasan
1.      Tinjauan mengenai konversi hak atas tanah
Terjadinya hak milik karena ketentuan undang-undang adalah atas dasar Ketentuan Konversi UUPA. Pengertian konversi hak-hak atas tanah ialah perubahan ha katas tanah sehubungan dengan berlakunya UUPA. Hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA diubah menjadi hak-hak atas tanah yang ditetapkan dalam UUPA (Pasal 16).[2] Konversi hak-hak atas tanah dapat digolongkan menjadi dua bagian:
a)      Untuk konversi hak atas tanah bekas hak barat.
b)      Untuk konversi hak atas tanah adat.
Selanjutnya yang akan dibahas hanya mengernai konversi bekas hak atas tanah adat saja.
Berdasarkan Pasal II Ketentuan Konversi UUPA hak-hak atas tanah seperti hak agrarisch eigendom, milik yayasan andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, jesini, grant Sultan, landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak berlakunya Undang-Undang ini dapat dikonversi menjadi hak milik.
Berdasarkan Pasal VII ayat (1) Ketentuan Konversi UUPA, hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap, sejak berlakunya Undang-Undang ini juga dapat dikonversi menjadi hak milik.
Konversi bekas hak atas tanah adat diatur lebih lanjut dalam PMPA Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak Indonesia Atas Tanah. Dalam Pasal 1 PMPA Nomor 2 Tahun 1962 ditentukan bahwa:
“Atas permohonan yang berkepentingan, makan konversi hak-hak yang disebut dalam Pasal II dan VI Ketentuan-Ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria menjadi hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai dapat ditegaskan menurut ketentuan-ketentuan. Peraturan ini dan didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (LN Tahun 1961 No.28), sepanjang Peraturan Pemerintah tersebut sudah mulai diselenggarakan didaerah yang bersangkutan.”
            Berdasarkan ketentuan tersebut maka pelaksanaan konversi harus jelas macam dan subjek haknya. Dalam pendaftaran bekas hak-hak atas tanah adat diperlukan penegasan tentang jenis haknya yang lama dan penegasan konversinya menjadi hak apa, baru kemudian dapat dilakukan pendaftaran.
            Untuk mengajukan permohonan konversi makan harus dilampirkan:
a.       Tanda bukti haknya (jika ada, juga surat ukurnya)
b.      Tanda bukti kewarganegaraanya pada tanggal 24 September 1960
c.       Keteranfan tentang tanahnya apakah tanah untuk perumahan ataupun untuk pertanian.[3]
Hak-hak atas tanah yang ada sebelum UUPA berlaku, khususnya hak atas adat oleh ketentuan-ketentuan konversi UUPA diubah menjadi salah satu ha katas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA. Prinsipnya ialah hak yang lama diubah menjadi hak yang sama atau hampir sama wewenang pemegang haknya.

D.Kesimpulan
Pelaksanaan konversi hak atas tanah adat (Letter C) menjadi hak milik di Kabupaten Bandung Barat sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku di Badan Pertanahan Nasional.
Kendala-kendala dalam pelaksanaan konversi berupa persyaratan yang kurang lengkap dan domisili yang jauh. Kendala-kendala tersebut dapat diatasi dan tidak terlalu menjadi masalah yang sangat menghambat dalam proses pelaksanaan konversi hak milik atas tanah.


[1] Adrian Sutedi, 2006, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hlm1.
[2] Effendi Pernaginangin, 1986, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, CV Rajawali, Jakarta, hal 145.
[3] A.P Parlindungan, 1985, Pendaftaran dan Konversi Hak-hak atas Tanah menurut UUPA, Alumni, Bandung, hal 127.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar