A.Pendahuluan
Kemakmuran
yang adil dan merata hanya dapat dicapai melaui pembangunan. Setiap kegiatan
pembangunan selalu memerlukan tanah. Dalam kehidupan manusia, tanah sebagai
tempat untuk melanjutkan kehidupannya. Antara tanah dan manusia terdapat hubungan
yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Pasal 33 atar (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa:
‘’Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. ‘’
Untuk
mencapai fungsi bumi, air dan ruang angkasa maka dibentuk Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Sebelum
berlakunya UUPA, hukum tanah Indonesia bersifat dualistis yaitu selain diakui
berlakunya hukum tanah adat yang bersumber pada Hukum Adat, diakui pula
peraturan-peraturan mengenai tanah yang didasarkan pada Hukum Barat.[1]
Berlakunya peraturan-peraturan tersebut tentu saja menimbulkan berbagai masalah
antar golongan yang tidak sesuai dengan cita-cita bangsa dan tidak memberikan
jaminan kepastian hukum.
Pada
tanggal 24 September 1960 telah disahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Tujuan lahirnya UUPA yaitu:
1. Untuk
meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional.
2. Untuk
meletakkan dasar-dasar, mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan.
3. Untuk
meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas
tanah bagi rakyat seluruhnya.
Salah satu tujuan UUPA yaitu memberikan
kepastian hukum mengenai hak atas tanah rakyat seluruhnya, terlebih hak atas tanah
menurut hukum adat. Dengan berlakunya UUPA, hak atas tanah tersebut dikonversi
menjadi hak atas tanah berdasarkan UUPA yaitu yang diatur dalam Pasal 16 ayat
(1) UUPA. Hak atas tanah menurut hukum adat dirasa tidak memberikan kepastian
hukum bagi pemiliknya. Dikatakan tidak memberikan kepastian hukum karena hak atas
tanah tersebut belum dicatat atau didaftarkan.
Pemerintah mengadakan kegiatan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia guna memberikan jaminan
kepastian hukum. Kepastian hukum di bidang pertanahan meliputi kepastian
mengenai subjek (orang atau badan hukum), objek (letak, batas, dan luas), serta
hak atas tanah. Pasal 19 ayat (1) UUPA menetukan bahwa:
“Untuk
menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh
wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan
peraturan pemerintah.”
Ketentuan
mengenai pendaftaran tanah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang kemudian pada tanggal 8 Juli 1997
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
Pendaftaran tanah pertama kali
dilaksanakan guna memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas
tanah seseorang. Pendaftaran tanah untuk pertama kali atas tanah-tanah yang ada
sebelum UUPA juga dapat disebut dengan istilah konversi. Konversi disini
berarti perubahan atau penggantian hak-hak atas tanah dari status lama, yaitu
sebelum berlakunya UUPA menjadi hak atas
tanah yang ditentukan UUPA.
Ketentuan-ketentuan konversi diatur
dalam UUPA yaitu Pasal I sampai Pasal IX Ketentuan Konversi UUPA, yang
pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Agraria (PMA) Nomor
2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan beberapa ketentuan UUPA untuk Konversi Tanah
Hak Barat dan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria (PMPA) Nomor 2 Tahun 1962
tentang Penegasan Konvensi dan Pendaftaran Bekas Hak Indonesia atas Tanah untuk
Hak atas Tanah bekas Hak Adat.
Berdasarkan Pasal II ayat (1)
Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA hak-hak atas tanah yang mirip dengan hak
milik yaitu hak agrarisch eigendom, milik yayasan andarbeni, hak atas druwe, ha
katas druwe desa, jesini, grant Sultan, landerijenbezitrech, altijddurende
erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir, dan hak-hak lain dengan nama
apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria dapat
dikonversi menjadi hak milik.
Berdasarkan informasi dari Kantor Pertanahan
di Kabupaten Bandung Barat, kesadaran masyarakat masih rendah dalam hal
pendaftaran hak milik atas tanah. Masih banyak masyarakat yang memiliki bukti kepemilikan
tanah berupa Letter C. Dengan petikan Letter C tersebut, masyarakat dapat
menggunakannya sebagai bukti untuk melakukan konversi hak milik atas tanah adat
guna mendapatkan setipikat sebagai tanda bukti ha katas tanah yang kuat.
Umumnya yang mensertipikatkan tanahnya adalah mereka yang memiliki
kepentingan-kepentingan tertentu misalnya akan meminjam uang di bank atau
karena jual beli dan warisan.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana
pelaksanaan konversi hak atas tanah adat menjadi hak milik?
C.Pembahasan
1. Tinjauan
mengenai konversi hak atas tanah
Terjadinya hak milik
karena ketentuan undang-undang adalah atas dasar Ketentuan Konversi UUPA.
Pengertian konversi hak-hak atas tanah ialah perubahan ha katas tanah
sehubungan dengan berlakunya UUPA. Hak-hak atas tanah yang ada sebelum
berlakunya UUPA diubah menjadi hak-hak atas tanah yang ditetapkan dalam UUPA
(Pasal 16).[2]
Konversi hak-hak atas tanah dapat digolongkan menjadi dua bagian:
a) Untuk
konversi hak atas tanah bekas hak barat.
b) Untuk
konversi hak atas tanah adat.
Selanjutnya
yang akan dibahas hanya mengernai konversi bekas hak atas tanah adat saja.
Berdasarkan Pasal II Ketentuan Konversi
UUPA hak-hak atas tanah seperti hak agrarisch eigendom, milik yayasan
andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, jesini, grant Sultan, landerijenbezitrecht,
altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir, dan hak-hak lain
dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria,
sejak berlakunya Undang-Undang ini dapat dikonversi menjadi hak milik.
Berdasarkan Pasal VII ayat (1) Ketentuan
Konversi UUPA, hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap, sejak
berlakunya Undang-Undang ini juga dapat dikonversi menjadi hak milik.
Konversi bekas hak atas tanah adat
diatur lebih lanjut dalam PMPA Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi
dan Pendaftaran Bekas Hak Indonesia Atas Tanah. Dalam Pasal 1 PMPA Nomor 2
Tahun 1962 ditentukan bahwa:
“Atas
permohonan yang berkepentingan, makan konversi hak-hak yang disebut dalam Pasal
II dan VI Ketentuan-Ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria menjadi hak
milik, hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai dapat ditegaskan
menurut ketentuan-ketentuan. Peraturan ini dan didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah (LN Tahun 1961 No.28), sepanjang Peraturan Pemerintah
tersebut sudah mulai diselenggarakan didaerah yang bersangkutan.”
Berdasarkan ketentuan tersebut maka
pelaksanaan konversi harus jelas macam dan subjek haknya. Dalam pendaftaran
bekas hak-hak atas tanah adat diperlukan penegasan tentang jenis haknya yang
lama dan penegasan konversinya menjadi hak apa, baru kemudian dapat dilakukan
pendaftaran.
Untuk mengajukan permohonan konversi
makan harus dilampirkan:
a.
Tanda
bukti haknya (jika ada, juga surat ukurnya)
b.
Tanda
bukti kewarganegaraanya pada tanggal 24 September 1960
c.
Keteranfan
tentang tanahnya apakah tanah untuk perumahan ataupun untuk pertanian.[3]
Hak-hak
atas tanah yang ada sebelum UUPA berlaku, khususnya hak atas adat oleh
ketentuan-ketentuan konversi UUPA diubah menjadi salah satu ha katas tanah yang
diatur dalam Pasal 16 UUPA. Prinsipnya ialah hak yang lama diubah menjadi hak
yang sama atau hampir sama wewenang pemegang haknya.
D.Kesimpulan
Pelaksanaan
konversi hak atas tanah adat (Letter C) menjadi hak milik di Kabupaten Bandung
Barat sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis
dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku di Badan
Pertanahan Nasional.
Kendala-kendala
dalam pelaksanaan konversi berupa persyaratan yang kurang lengkap dan domisili
yang jauh. Kendala-kendala tersebut dapat diatasi dan tidak terlalu menjadi
masalah yang sangat menghambat dalam proses pelaksanaan konversi hak milik atas
tanah.
[1]
Adrian Sutedi, 2006, Peralihan Hak Atas
Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hlm1.
[2]
Effendi Pernaginangin, 1986, Hukum
Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, CV
Rajawali, Jakarta, hal 145.
[3]
A.P Parlindungan, 1985, Pendaftaran dan
Konversi Hak-hak atas Tanah menurut UUPA, Alumni, Bandung, hal 127.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar