A. PENGERTIAN
- Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun. Hak Guna Usaha adalah hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri guna perusahaan, pertanian, perikanan dan sebagainya.
- Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Tidak mengenai tanah pertanian, oleh karena itu dapat diberikan atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara maupun tanah milik seseorang.
- Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan No.5 Tahun 1960. Hak Pakai diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu; Hak Pakai dapat diberikan dengan Cuma-Cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
1. Hak Guna Usaha
Dalam
hal jangka waktu UU No.5 tahun 1960 menyatakan dalam pasal 29 Hak Guna Usaha
diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun. Untuk perusahaan yang memerlukan
waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna usaha untuk waktu paling lama 35
tahun. Namun atas permintaan Pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya
jangka waktu yang dimaksud dalam pasal 29 ayat 1 dan 2 bahwa dapat meminta
perpanjangan hak nya dengan waktu paling lama menjadi 25 tahun. Dan
dinyatakan juga dalam PP No.40 tahun 1996 pasal 8 ayat 1 bahwa Hak Guna
Usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh lima tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun. Sesudah
jangka waktu Hak Guna Usaha dan perpanjangannya berakhir, kepada pemegang hak
dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah yang sama.
Sedangkan
menurut PP No.40 tahun 1996 pasal 9 ayat 1 Hak Guna Usaha dapat diperpanjang
atas permohonan pemegang hak, jika memenuhi syarat :
1. tanahnya
masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian
hak tersebut;
2. syarat-syarat
pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
3. pemegang
hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
Permohonan
perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha atau Pembaharuannya diajukan
selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha
tersebut. Dan Perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha dicatat dalam buku
tanah pada Kantor Pertanahan.
Hak
Guna Usaha ini diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar.dengan
ketentuan Jika luas Hak Guna Usaha 25 hektar atau lebih, maka harus menggunakan
investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, disesuaikan dengan
perkembangan zaman (dinyatakan dalam pasal 28 ayat 2 UU No. 5 tahun 1960). Dan
dinyatakan juga dalam PP No. 40 tahun 1996 bahwa luas minimum tanah yang
dapat diberikan Hak Guna Usaha adalah lima hektar. Sedangkan Luas maksimum
tanah yang dapat diberikan Hak Guna Usaha kepada perorangan adalah dua puluh
lima hektar. Luas maksimum tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha
kepada Badan Hukum ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan
dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan, dengan mengingat
luas yang diperlukan untuk pelaksanaan suatu satuan usaha yang paling
berdayaguna di bidang yang bersangkutan.
Yang
dapat mempunyai Hak Guna Usaha yang mana dinyatakan dalam pasal 30 ayat 1 dan 2
UU No.5 tahun 1960 dan PP No.40 tahun 1996 pasal 2 dan pasal 3 ayat (1) dan (2)
yaitu :
1. Warga Negara Indonesia;
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum di Indonesia, serta berkedudukan di
Indonesia.
Apabila
Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi
syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat 1 pasal 30 dalam jangka waktu
satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang
memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak
guna usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika hak guna usaha yang bersangkutan
tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus
karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan,
menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan
tanahnya menjadi tanah negara.
PP
No.40 tahun 1996 pasal 4 menyatakan bahwa tanah yang dapat diberikan
dengan Hak Guna Usaha adalah tanah Negara. Apabila tanah yang akan diberikan
dengan Hak Guna Usaha itu adalah tanah Negara yang merupakan kawasan hutan,
maka pemberian Hak Guna Usaha dapat dilakukan setelah tanah yang bersangkutan
dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan. Dan apabila Pemberian Hak
Guna Usaha atas tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai ketentuan
yang berlaku, pelaksanaan ketentuan Hak Guna Usaha tersebut baru dapat
dilaksanakan setelah terselesaikannya pelepasan hak tersebut sesuai dengan tata
cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini
apabila tanah yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha itu terdapat tanaman
dan/atau bangunan milik pihak lain yang keberadaannya berdasarkan alas hak yang
sah, pemilik bangunan dan tanaman tersebut diberi ganti kerugian yang
dibebankan pada pemegang Hak Guna Usaha baru
Terjadinya
Hak Guna Usaha yang mana dinyatakan dalam pasal 31 UU No.5 tahun 1960 bahwa Hak
Guna Usaha terjadi karena penetapan pemerintah, dan menurut PP No.40 tahun 1996
bahwa terjadinya Hak Guna Usaha adalah diberikan dengan keputusan hak oleh
menteri atau pejabat yang ditunjuk
Hak
Guna Usaha dapat dijadikan sebagai jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan. Sebagaimana hak yang lain, hak ini pun dapat beralih atau dialihkan
kepada pihak lain.yang mana dinyatakan didalam pasal 33 UU No.5 Tahun
1960.pernyataan ini juga dinyatakan didalam PP No.5 Tahun 1996 pasal 15 yang
menyatakan bahwa Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani Hak Tanggungan yang mana Hak Tanggung hapus dengan hapusnya Hak Guna
Usaha
Menurut
pasal 34 UU No.5 tahun 1960 Hak Guna Usaha ini tidak berlaku lagi/hapus ketika:
1.
jangka waktunya berakhir;
2.
dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena ada syarat yang tidak
dipenuhi;
3.
dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
4.
dicabut untuk kepentingan umum;
5.
ditelantarkan;
6.
tanahnya musnah,
7.
orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Usaha namun tidak lagi memenuhi
syarat
sedangkan
menurut PP No.40 Tahun 1996 pasal 17 yang menyatakan apabila Hak Guna Usaha
hapus/tidak berlaku lagi karena :
1. berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian
atau perpanjangannya;
2. dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir
karena:
a. tidak
terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya
ketentuanketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13 dan/atau Pasal
14;
b.
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
3. dilepaskan secara sukarela oleh pemgang haknya sebelum jangka
waktunya berakhir
4. ditelantarkan;
5. tanahnya musnah.
2. Hak Guna Bangunan
Didalam
PP No.40 Tahun 1996 pasal 25 menyatakan bahwa jangka waktu Hak Guna Bangunan
adalah jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan dapat diperpanjang
untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun. Sesudah jangka waktu Hak Guna
Bangunan dan perpanjangannya berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan
pembaharuan Hak Guna Bangunan di atas tanah yang sama.
Yang
dapat mempunyai Hak Guna Bangunan menurut UU No.5 tahun 1960 dan PP
No.40 tahun 1996 adalah hanya dapat diberikan kepada :
1.
Warga
Negara Indonesia
2.
Badan
hukum yang didirikan menurut hukum di Indonesia, serta berkedudukan di
Indonesia.
Namun
orang atau badan hukum yang mempunyai hak bangunan dan tidak lagi memenuhi
syarat-syarat tersebut dalam 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu
kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga kepada pihak
yang memperoleh hak guna bangunan, jika ia tiddak memenuhi syarat-syarat
tersebut jika hak guna bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau
dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dangan
ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Terjadinya
Hak Guna Bangunan menurut UU No.5 Tahun 1960 pasal 37 adalah apabila
Tanah yang dikuasai langsung oleh negara dapat menjadi hak guna bangunan
berdasarkan penetapan pemerintah. Sedangkan tanah milik dapat menjadi Hak Guna
Bangunan karena adanya perjanjian berbentuk otentik antara pemilik tanah dengan
pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan. Dan dinyatakan didalam PP No.40 tahun
1996 pasal 22 yang menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan atas tanah Negara
diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk dan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan
keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasar-kan
usul pemegang Hak Pengelolaan.
Hak
Guna Bangunan dapat dijadikan sebagai jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan. Hak ini dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain (dinyatakan
didalam UU No.5 tahun 1960 pasal 39). Dan dinyatakan juga didalam pasal 33 PP
No.5 tahun 1996 yang menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Hak Tanggungan hapus dengan
hapusnya Hak Guna Bangunan.
Menurut UU
no.5 tahun 1960 pasal 40 menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan ini
dinyatakan hapus/tidak berlaku lagi ketika:
1.
jangka waktunya berakhir;
2.
dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena ada syarat yang tidak
dipenuhi;
3.
dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
4.
dicabut untuk kepentingan umum;
5.
ditelantarkan;
6.
tanahnya musnah
7.
orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan namun tidak lagi
memenuhi syarat tersebut dalam ayat 1 pasal 36, dalam jangka waktu 1 tahun
sehingga wajib melepaskan atau mengalihkan haknya kepada pihak lain yang
memenuhi syarat Jika tidak dilepaskan atau dialihkan maka Hak Guna
Bangunan tersebut maka hak itu hapus karena hukum (ketentuan dalam pasal 36
ayat 2 ) sedangkan menurut PP No.40 Tahun 1996 menyatakan
apabila Hak Guna Bangunan ini hapus/tidak berlaku lagi ketika :
1.
berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau
perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya;
2. dibatalkan
oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik
sebelum jangka waktunya berakhir, karena :
a.
tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya
ketentuanketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 32
PP No.40 tahun 1996;
b.
tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam
perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak Guna Bangunan dan
pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan;
c.
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
3. dilepaskan
secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir;
4. dicabut
berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;
5. ditelantarkan;
6.
tanahnya musnah.
3. Hak Pakai
Ketentuan mengenai Hak Pakai terdapat dalam Pasal 16 ayat
(1) huruf d UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 43
UUPA. Pengaturan lebih lanjut mengenai Hak Pakai diatur dengan Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996, yang secara khusus diatur dalam Pasal 39 sampai
dengan Pasal 58. Yang dimaksudkan dengan Hak Pakai menurut Pasal 41 ayat (1)
UUPA, adalah: ”Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil
dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya
oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dengan perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
Undang-undang ini”.
Pasal 41 UUPA menyebutkan
bahwa ciri-ciri Hak Pakai, adalah :
a.
Wewenang
pemegang Hak Pakai terhadap tanahnya adalah mempergunakan tanah untuk kepentingan
mendirikan bangunan, juga dipergunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan,
peternakan, dan perkebunan.
b.
Asal tanah Hak
Pakai adalah di samping terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh Negara,
juga dapat terjadi pada tanah Hak Milik;
c.
Cara terjadinya
Hak Pakai adalah untuk Hak Pakai yang terjadi pada tanah yang dikuasai langsung
oleh negara melalui keputusan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang,
sedangkan Hak Pakai yang terjadi pada tanah Hak Milik terjadi melalui
perjanjian penggunaan tanah antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Pakai.
d. Hak Pakai dapat
diberikan untuk jangka waktu tertentu, atau selama tanahnya dipergunakan untuk
keperluan tertentu.
Pasal 42 UUPA menetapkan
bahwa yang yang dapat mempunyai Hak Pakai atas tanah, adalah :
a.
warga Negara
Indonesia;
b.
orang asing
yang berkedudukan di Indonesia;
c.
badan hukum
yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d. badan hukum
asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 40
Tahun 1996 memperluas pihak yang dapat mempunyai Hak Pakai atas
tanah, yaitu :
a.
Warga Negara
Indonesia;
b.
Badan hukum
yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
c.
Departemen, Lembaga
Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
d. Badan-badan
keagamaan dan badan sosial;
e.
Orang asing
yang berkedudukan di Indonesia;
f.
Badan hukum
asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
g.
Perwakilan negara
asing dan perwakilan badan internasional.
Dari aspek asal tanah Hak Pakai, ada
perbedaan antara UUPA dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996. Pasal 41
ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa Hak Pakai dapat berasal dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara dan Hak Pakai yang berasal dari tanah Hak Milik.
Pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 memperluas asal tanah Hak
Pakai, yaitu Hak Pakai atas tanah Negara, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan,
dan Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
Berdasarkan asal tanahnya, terjadinya
Hak Pakai dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.
Hak Pakai atas
tanah Negara.
Hak Pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak
oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPNRI) atau pejabat
BPNRI yang diberi pelimpahan kewenangan memberikan hak atas tanah. Hak Pakai
ini terjadi sejak Surat Keputusan Pemberian Hak Pakai didaftarkan oleh pemohon
Hak Pakai kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya
meliputi letak tanah yang bersangkutan untuk dicatat dalam Buku Tanah dan
diterbitkan sertipikat sebagai tanda bukti haknya.
Prosedur perolehan Hak Pakai melalui pemberian hak diatur
dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9
Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan
Hak Pengelolaan.
b.
Hak Pakai atas
tanah Hak Pengelolaan
Hak Pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak
oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi
letak tanah yang bersangkutan berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan setelah
dibuatkan Perjanjian Penggunaan Tanah antara pemegang Hak Pengelolaan dengan
calon pemegang Hak Pakai. Hak Pakai ini terjadi sejak Surat Keputusan Pemberian
Hak Pakai didaftar oleh pemohon Hak Pakai kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan
untuk dicatat dalam Buku tanah dan diterbitkan sertipikat sebagai tanda bukti
haknya.
c.
Hak Pakai atas
tanah Hak Milik.
Hak Pakai ini terjadi dengan pemberian tanah oleh pemilik
tanah dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akta PPAT
ini wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah
kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan untuk dicatat dalam Buku Tanah.
Hak Pakai ini tidak diterbitkan sertipikat sebagai tanda bukti haknya.
Pasal 41 ayat (2) UUPA tidak menentukan
secara tegas jangka waktu penguasaan Hak Pakai. Pasal ini hanya menentukan
bahwa Hak Pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu, atau selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Dalam Peraturan Pemerintah No.
40 Tahun 1996 secara tegas ditentukan jangka waktu Hak Pakai berdasarkan asal
tanahnya, yaitu :
a.
Hak Pakai atas
tanah Negara.
Hak Pakai ini berjangka waktu untuk pertam kalinya paling
lama 25 (duapuluh lima) tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 20 (duapuluh) tahun, dan dapat diperbaharui haknya untuk jangka waktu
paling lama 25 (duapuluh lima) tahun.
Khusus Hak Pakai yang dipunyai oleh Departemen, Lembaga
Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah, badan-badan keagaman dan badan
sosial, perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional diberikan
untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk
keperluan tertentu.
Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak
Pakai diajukan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya jangka
waktu Hak Pakai tersebut. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Pakai
dicatat dalam Buku Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah
kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.
b.
Hak Pakai atas
tanah Hak Pengelolaan
Hak Pakai ini berjangka waktu untuk pertama kalinya
paling lama 25 (duapuluh lima) tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu
paling lama 20 (duapuluh) tahun, dapat diperbaharui haknya untuk jangka waktu
paling lama 25 (duapuluh lima) tahun.
Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Pakai ini
dapat dilakukan atas usul pemegang Hak Pengelolaan.
c.
Hak Pakai atas
tanah Hak Milik.
Hak Pakai ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 25
(duapuluh lima) tahun dan tidak dapat diperpanjang. Namun, atas kesepakatan
antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Pakai dapat diperbaharui haknya dengan
pemberian Hak Pakai baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) dan wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang
wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan untuk dicatat dalam
Buku Tanah.
Untuk kepentingan penanaman modal,
permintaan perpanjangan jangka waktu, dan pembaharuan Hak Pakai dapat dilakukan
sekaligus dengan pembayaran uang pemasukan yang ditentukan pada saat pertama
kali mengajukan permohonan Hak Pakai. Persetujuan untuk pemberian perpanjangan
jangka waktu dan pembaharuan Hak Pakai, serta perincian uang pemasukan
dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Pakai.
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996
menetapkan kewajiban-kewajiban pemegang Hak Pakai terhadap tanahnya, yaitu :
a. membayar uang
pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan
pemberian haknya, perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau dalam
perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
b. menggunakan
tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberiannya, atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan, atau
perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
c. memelihara
tanah dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga
kelestarian lingkungan hidup;
d. menyerahkan
kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada Negara, pemegang Hak
Pengelolaan, atau pemilik tanah sesudah Hak Pakai tersebut hapus;
e. menyerahkan
sertipikat Hak Pakai yang telah hapus kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
setempat; dan
f. memberikan
jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang
tanah yang terkurung oleh tanah Hak Pakai.
Hak-hak pemegang Hak Pakai terhadap tanahnya
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, yaitu :
a. menguasai dan
mempergunakan tanah Hak Pakai selama jangka waktu tertentu untuk keperluan
pribadi atau usahanya;
b. memindahkan Hak
Pakai kepada pihak lain;
c. membebaninya
dengan Hak Tanggungan;
d. menguasai dan
menggunakan tanah untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan tertentu.
Peralihan Hak
Pakai Atas Tanah.
Ada 2 bentuk peralihan hak atas tanah
yang diatur dalam UUPA, yaitu :
1.
Beralih
Beralih artinya berpindahnya hak atas tanah dari pemegang
haknya kepada pihak lain disebabkan oleh suatu peristiwa hukum. Dengan
meninggalnya pemegang hak atas tanah, maka hak atas tanah secara hukum
berpindah kepada ahli warisnya sepanjang ahli warisnya memenuhi syarat sebagai
subyek hak atas tanah yang diwariskan.
2.
Dialihkan/pemindahan
hak.
Dialihkan/pemindahan hak artinya berpindahnyahak atas
tanah dari pemegang haknya kepada pihak lain disebabkan oleh suatu perbuatan
hukum. Contoh perbuatan hukum, yaitu jual beli, tukar menukar, hibah,
penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan, lelang.
Pasal 43 UUPA mengatur peralihan Hak
Pakai berdasarkan asal tanah Hak Pakai, yaitu :
a.
Hak Pakai atas
tanah negara.
Hak Pakai ini hanya dapat dialihkan kepada pihak lain
dengan izin pejabat yang berwenang.
b.
Hak Pakai atas
tanah Hak Milik.
Hak Pakai ini hanya dapat dialihkan kepada pihak lain,
jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
Peralihan Hak Pakai yang diatur dalam
UUPA hanya sebatas pada bentuk dialihkan, sedangkan peralihan Hak Pakai yang
berbentuk beralih tidak diatur. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan dalam
pelaksanaan peralihan Hak Pakai atas tanah negara maupun atas tanah Hak Milik.
Untuk mengatasi permasalahan peralihan
Hak Pakai ini, Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 lebih rinci mengatur
peralihan Hak Pakai. Berdasarkan asal tanahnya, peralihan Hak Pakai dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a.
Hak Pakai atas
tanah Negara.
Hanya Hak Pakai atas tanah Negara yang berjangka waktu
tertentu dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, sedangkan Hak Pakai
yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya
dipergunakan unuk keperluan tertentu tidak dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain.
Peralihan Hak Pakai atas tanah Negara harus dilakukan
dengan izin dari pejabat yang berwenang, yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN).
b.
Hak Pakai atas
tanah Hak Pengelolaan.
Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain.
Peralihan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan harus
dilakukan dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak
Pengelolaan.
c.
Hak Pakai atas
tanah Hak Milik
Hak Pakai atas tanah Hak Milik hanya dapat dialihkan
kepada pihak lain apabila hal tersebut dimungkinkan dalam perjanjian pemberian
Hak Pakai atas tanah Milik perseorangan.
Peralihan Hak Pakai atas tanah Hak Milik harus dilakukan
dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemilik tanah yang
bersangkutan.
Hak Pakai atas tanah Negara yang
diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan
untuk keperluan tertentu, yang diberikan kepada Departemen, Lembaga Pemerintah
Non Departemen, Pemerintah Daerah, perwakilan negara asing, perwakilan badan
internasional, dan badan-badan keagamaan dan sosial tidak dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain.
Hak Pakai yang dipunyai oleh badan
hukum publik ada right to use, yaitu
mempergunakannya untuk waktu yang tidak terbatas selama pelaksanaan tugas,
namun tidak ada right of dispossal,
yang dimaksud disini adalah tidak dapat dialihkan dalam bentuk apapun kepada
pihak ketiga dan juga tidak dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan. Pihak lain yang
membutuhkan Hak Pakai atas tanah ini dapat menempuh melalui pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah oleh pemegang Hak Pakai dengan pemberian ganti kerugian
oleh pihak yang memerlukan tanah tersebut kepada pemegang Hak Pakai. Dengan
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah ini, tanah kembali menjadi tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara untuk kemudian dimohon dengan hak atas tanah yang
baru oleh pihak yang memerlukan Hak Pakai tersebut.
Prosedur beralih dan dialihkan Hak
Pakai atas tanah dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.
Beralih
Peralihan Hak Pakai atas tanah yang berbentuk beralih
karena pewarisan harus dibuktikan dengan adanya surat wasiat atau surat
keterangan sebagai ahli waris yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, surat
keterangan kematian pemegang Hak Pakai yang dibuat oleh pejabat yang berwenang,
bukti identitas para ahli waris, sertipikat Hak Pakai yang bersangkutan.
Prosedur peralihan Hak Pakai atas tanah karena pewarisan
diatur dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 jo Pasal 42
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Pasal 111
dan Pasal 112 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun1997 tentang Pendaftaran Tanah.
b.
Dialihkan.
Peralihan Hak Pakai atas tanah yang berbentuk dialihkan karena
jual beli, tukar menukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan
harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT,
kecuali lelang harus dibuktikan dengan Berita Acara Lelang atau Risalah Lelang
yang dibuat oleh pejabat dari Kantor Lelang.
Prosedur peralihan Hak Pakai atas tanah karena jual beli,
tukar menukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal perusahaan diatur
dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 jo Pasal 37 ayat (1)
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 97 sampai dengan Pasal 106
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun
1997.
Prosedur peralihan Hak Pakai atas tanah karena lelang
diatur dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 jo Pasal 41
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 107 sampai dengan Pasal 110
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun
1997.
Peralihan Hak Pakai atas tanah
yang berbentuk beralih dan dialihkan
wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya
meliputi letak tanah yang bersangkutan wajib dicatat dalam Buku Tanah dan
dilakukan perubahan nama pemegang hak dalam sertipikat Hak Pakai dari pemegang
Hak Pakai semula menjadi pemegang Hak Pakai yang baru.
Pembebanan Hak
Pakai Atas Tanah.
Dari macam-macam hak atas tanah yang
disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 53 UUPA, UUPA menetapkan bahwa hak
atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan
adalah Hak Milik (Pasal 25), Hak Guna Usaha (Pasal 33), dan Hak Guna Bangunan
(Pasal 39). Hak Pakai atas tanah tidak termasuk hak atas tanah yang dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Dalam perkembangannya, Hak Pakai atas
tanah negara dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 13 Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun,
yaitu: ”Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 12 hak milik atas satuan rumah
susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dapat dijadikan jaminan utang
dengan :
a.
dibebani
hipotik, jika tanahnya tanah hak milik atau hak guna bangunan;
b.
dibebani
fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah Negara.
Hak Pakai yang dapat dijadikan jaminan
utang dengan dibebani fidusia dalam Undang-undang No. 16 Tahun 1985 hanya
terbatas pada Hak Pakai atas tanah Negara yang di atasnya dibangun rumah susun.
Pada rumah susun ada bagian yang dapat dimiliki secara perseorangan dan
terpisah yang disebut hak milik atas satuan rumah susun, dan ada bagian pada
rumah susun yang dimiliki secara bersama-sama oleh seluruh pemilik satuan rumah
susun, berupa bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Setelah 36 tahun berlakunya
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA), disahkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah, atau dikenal dengan sebutan Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT).
Undang-undang No. 4 Tahun 1996 merupakan pelaksanan Pasal 51 UUPA, yaitu : ”Hak
Tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha, dan hak guna
bangunan tersebut dalam Pasal 25, Pasal 33, dan Pasal 39 diatur dengan
Undang-undang”. Dengan disahkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996, maka
terwujudlah unifikasi hukum, khususnya dalam bidang hak jaminan atas tanah.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang
No. 4 Tahun 1996, yang dimaksud dengan : ”Hak Tanggungan atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau disebut Hak Tanggungan adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”.
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang No.
4 Tahun 1996 ditegaskan bahwa hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan
utang dengan dibebani Hak Tanggungan harus memenuhi syarat-syarat, yaitu :
1.
Hak atas tanah
tersebut menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan;
2.
Hak atas tanah
tersebut menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif, artinya apabila
salah satu syarat tidak dipenuhi, maka hak atas tanah tersebut tidak dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani HakTanggungan.
Syarat-syarat hak atas tanah yang dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan dinyatakan oleh I.
Soegiarto, yaitu :
1.
Dapat dinilai
dengan uang (karena utang yang dijamin berupa uang);
2.
Merupakan hak
yang telah didaftarkan (daftar umum pendaftaran tanah sebagai syarat untuk
memenuhi asas publisitas);
3.
Bersifat dapat
dipindahtangankan (dalam hal debitor cidera janji benda tersebut dapat dijual
di muka umum); dan
4.
Memerlukan
penunjukan dengan peraturan perundang-undangan.
Sependapat dengan I. Soegiarto, secara
lebih singkat Boedi Harsono menyatakan bahwa untuk dapat dibebani hak jaminan
atas tanah, obyek yang bersangkutan harus memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu :
1.
Dapat dinilai
dengan uang;
2.
Termasuk hak
yang didaftar dalam daftar umum;
3.
Mempunyai sifat
yang dapat dipindahtangankan;
4.
Memerlukan
penunjukan oleh Undang-undang.
Sebelum disahkan Undang-undang No. 4
Tahun 1996, Hak Pakai atas tanah sudah didaftar dan dapat dipindahtangankan,
namun hak atas tanah ini tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani
Hak Tanggungan disebabkan UUPA tidak menunjuknya. Pendaftaran Hak Pakai atas
tanah di samping diatur dalam Pasal 41 UUPA juga ditegaskan dalam Peraturan
Menteri Agraria No. 1 Tahun 1966 tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak
Pengelolaan.
Mengingat Hak Pakai atas tanah didaftar
dan dapat dipindahtangankan, maka pembentuk UUPA menampungnya menjadi salah
satu obyek Hak Tanggungan. Undang-undang No. 4 Tahun 1996 menetapkan syarat,
yaitu Hak Pakai yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan adalah Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku
wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
Subyek Hak Pakai atas tanah Negara yang
menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat
dipindahtangankan, sehingga dapat dibebani Hak Tanggungan, yaitu :
a.
Hak Pakai atas
tanah Negara yang dipunyai oleh perseorangan, baik warga Negara Indonesia
maupun warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia.
b.
Hak Pakai atas
tanah Negara yang dipunyai oleh badan hukum privat, baik badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia maupun badan
hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Subyek Hak Pakai atas tanah Negara yang
menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya tidak dapat
dipindahtangankan, sehingga tidak dapat dibebani Hak Tanggungan, yaitu Hak
Pakai atas tanah Negara yang dipunyai oleh :
a.
Departemen.
b.
Lembaga
Pemerintah Non Departemen.
c.
Lembaga-lembaga
Negara.
d. Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
e.
Perwakilan
negara asing.
f.
Perwakilan
badan internasional.
g.
Badan-badan
keagamaan dan sosial.
Hak Pakai yang dipunyai oleh badan
hukum publik ada right to use, yaitu
mempergunakannya untuk waktu yang tidak terbatas selama pelaksanaan tugas,
namun tidak ada right of dipossal,
yang dimaksud disini adalah tidak dapat dialihkan dalam bentuk apapun kepada
pihak ketiga dan juga tidak dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan.
Di luar Undang-undang No. 4 Tahun 1996,
yaitu dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 ditetapkan bahwa Hak Pakai
atas tanah Negara dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Kalau dilihat dari syarat-syarat
hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan menurut Undang-undang No. 4
Tahun 1996, maka Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan merupakan hak atas tanah
yang wajib didaftar dan dapat dipindahtangankan dengan persetujuan tertulis
dari pemegang Hak Pengelolaan. Atas dasar pemenuhan syarat-syarat Hak
Tanggungan, maka Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan juga dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Prosedur pembebanan Hak Pakai atas
tanah dengan Hak Tanggungan diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 jo
Pasal 53 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 jo Pasal 44 Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo Pasal 114 sampai dengan Pasal 119 Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997.
Adapun tahapan-tahapan pembebanan Hak Pakai atas tanah dengan Hak Tanggungan
dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.
Adanya
perjanjian utang piutang sebagai perjanjian pokoknya.
Perjanjian utang piutang antara pemegang Hak Pakai atas
tanah sebagai debitor dengan pihak lain (bank) sebagai kreditor, dapat dibuat
dalam bentuk akta autentik, yaitu dibuat oleh Notaris, atau dibuat dengan akta
di bawah tangan, yaitu akta yang dibuat sendiri oleh debitor dan kreditor.
Perjanjian utang piutang merupakan perjanjian pokok,
yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang antara pemegang Hak
Pakai atas tanah sebagai debitor dengan pihak lain (bank) sebagai kreditor.
2.
Adanya
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagai perjanjian ikutan (tambahan).
Untuk memberikan jaminan utang debitor kepada kreditor,
debitor menyerahkan Hak Pakai atas tanah sebagai jaminan utang kepada kreditor.
Penyerahan jaminan ini bersifat accessoir, artinya sebagai perjanjian ikutan atau perjanjian
tambahan dari perjanjian pokok. Perjanjian accessoir
merupakan perjanjian ikutan yang menimbulkan hubungan hukum penjaminan atas
perjanjian pokok.
Keberadaan, berakhir, dan hapusnya Hak Tanggungan dengan
sendirinya tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya.
Penyerahan jaminan oleh pemegang Hak Pakai atas tanah kepada bank sebagai pemberian Hak Tanggungan harus dilakukan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Penyerahan jaminan oleh pemegang Hak Pakai atas tanah kepada bank sebagai pemberian Hak Tanggungan harus dilakukan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
3.
Pendaftaran
Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan, PPAT wajib mendaftarkan akta
tersebut kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi
letak tanah yang bersangkutan.
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota membuatkan Buku
Tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam Buku Tanah hak atas tanah yang
menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada Sertipikat
Hak Pakai atas tanah yang bersangkutan. Pendaftaran Akta Pemberian Hak
Tanggungan tersebut merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan dan
mengikatnya hak tersebut terhadap pihak ketiga karena telah memenuhi asas
publisitas.
Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak yang bersangkutan
menerbitkan Sertipikat Hak Tanggungan, yang di dalamnya memuat irah-irah dengan
kata-kata ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
PPAT menyerahkan Sertipikat Hak Tanggungan tersebut
kepada pemegang Hak Tanggungan, yaitu bank.
Kesimpulan
Hak Pakai atas tanah negara terjadi
melalui keputusan pemberian hak oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan terjadi melalui keputusan
pemberian hak oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atas usul pemegang
Hak Pengelolaan, dan Hak Pakai atas tanah Hak Milik terjadi melalui pemberian
Hak Pakai oleh pemilik tanah dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT).
Hak Pakai atas tanah Negara dan Hak
Pakai atas tanah Hak Pengelolaan diterbitkan sertipikat sebagai tanda bukti
haknya oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, sedangkan Hak Pakai atas tanah
Hak Milik hanya dicatat dalam Buku Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.
Hak Pakai atas tanah Negara dan Hak
Pakai atas tanah Hak Pengelolaan diberikan untuk jangka waktu tertentu yang
dapat diperpanjang jangka waktunya dan diperbaharui haknya. Hak Pakai atas
tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu tertentu yang tidak dapat
diperpanjang jangka waktunya, akan tetapi dapat diperbaharui haknya atas dasar
kesepakatan kedua belah pihak. Hak Pakai atas tanah yang bersifat publik
diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan
untuk keperluan tertentu.
Hak Pakai atas tanah yang bersifat
privat dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain maupun dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Sebaliknya, Hak Pakai atas tanah
yang bersifat publik tidak dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain maupun
tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Hak Pakai atas tanah yang dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Pakai atas
tanah Negara dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan yang menurut ketentuannya
wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar