Sabtu, 05 Januari 2019

Titik kuat dan Titik lemah dalam Ilmu Hukum


A.    Aliran Hukum Alam
Selama sejarahnnya, hukum alam telah menjalankan dan melayani bermacam-macam  fungsi, di antaranya :
1.      Ia telah berfungsi sebagai instrument utama pada saat hukum perdata Romawi Kuno ditransformasikan menjadi suatu sistem internasional yang luas.
2.      Ia telah menjadi senjata yang dipakai oleh kedua pihak, yaitu pihak gereja dan kerajaan, dalam pergaulan antar mereka Atas nama hukum alamiah kesahan dari hukum internasional itu ditegakkan.
3.      Ia telah menjadi tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi kebebasan individu berhadapan dengan absolutism.
4.      Prinsip-prinsip hukum Alam telah dijadikan senjata oleh para hakim amerika, pada waktu mereka memberikan tafsiran terhadap konstitusi mereka, dengan menolak campur tangan negara melalui perundang-undangan yang ditujukan untuk membatasi kemerdekaan ekonomi. (Satjipto Rahardo, 2006 : 226). Disitasi dari Widiada Gunakaya, 2018 : 278.
Aliran hukum alam pada zaman Romawi dimunculkan oleh pemikir-pemikir Socrates, Plato, dan  Aristoteles.
Menurut Plato, keadilan adalah, “apabila seseorang itu menjalankan pekerjaannya dalam hidup ini sesuai dengan kemampuan yang ada padanya”.  (Widiada Gunakaya, 2018 : 280).
Menurut Aristoteles, Negara yang didasarkan pada hukum bukan merupaka alternative yang paling baik dari Negara yang dipimpin oleh orang-orang cerdik cendekiawan, melainkan satu-satunya cara yang paling praktis untuk mencapai kehidupan yang baik dan sejahtera dalam masyarakat. (Widiada Gunakaya, 2018 : 281).
Menurut Thomas Aquinas (1224-1274) hukum alam ini bersumber pada hukum ilahi, universal dan langgeng-lestari, tidak berubah menurut ruang dan waktu, sedangkan hukum positif adalah penerapan hukum alam oleh manusia di awal bumi ini. (Emeritus John Gillesen dan Emeritus Frits Gorle, 2011 :11). Disitasi dari Widiada Gunakaya, 2018 : 282.
Thomas Aquinas merumuskan hukum sebagai “peraturan yang berasal dari akal untuk kebaikan umum yang dibuat oleh seseorang yang mempunyai kewajiban untuk menjaga masyarakatnya dan mengundangkannya”. Thomas Aquinas membedakan empat macam hukum, yaitu : lex aeterna, lex naturalis, lex divina dan lex humana. (Widiada Gunakaya, 283).
Sebagaimana halnya Aristoteles yang membedakan hukum itu atas “hukum alam” dan “hukum positf”, Thomas Aquinas dengan sistem pemikiran tersendiri, karena dipengaruhi oleh hukum Gereja, membedakan hukum itu menjadi 4 macam, yaitu :
1.        Lex Aeterna, adalah hukum abadi yang berisikan rasio Tuhan yang mengatur segala hal dalam alam semesta ini beserta isinya, oleh karena itu hukum ini merupakan sumber dari segala sumber hukum. Rasionalisasi Tuhan ini tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia.
2.        Lex Divina, adalah hukum yang terdapat di dalam Kitab-kitab Suci yang berisikan petunjuk-petunjuk tentang bagaimana itu harus menjalani hidup dan kehidupannya. Lex Divina ini yang merupakan bagian dari rasio Tuhan (lex aeterna) hanya untuk sebagian dapat ditangkap oleh rasio manusia berdasarkan waktu yang diterimanya.
3.        Lex Naturalis, adalah hukum alam yang berisikan rasio Tuha (lex aeterna) dalam penciptaan alam semesta, dan juga sebagai penjelmaan dari lex aeterna di dalam rasio manusia.
4.        Lex Positivis, atau disebut juga lex humana adalah hukum buatan manusia yang bersumber dari rasio (akal) manusia itu sendiri. Oleh karena itu, hukum yang dibuat oleh manusia, norma-norma hukumnya harus disesuaikan dan berdasarkan petunjuk-petunjuk yang terdapat di dalam lex divina dan lex naturalis yang semuanya itu bersumber dari satu hukum abadi, yakni lex aeterna. (Hukum positif yang terdapat di dalam Kitab Suci dan atau menyimpang dari rasio manusia).
(Widiada Gunakaya, 2018 : 285-286).

Salah satu tokoh lain dari aliran hukum alam yang rasional adalah Huge de Groot atau dikenal juga dengan nama Grotius (1583-1645) dari negeri Belanda. Bukunya yang terkenal adalah : De Jure belli ac pacis (Hukum Perang dan Damai), dan Mare Liberium (Laut Kita), di dalam buku-bukunya tersebut sistem pemikirannya banyak dipengaruhi oleh sistem pemikiran kaum Stoa dan Scholastic. Postulasi yang diajukannya adalah : “Hukum alam (kodrat) dapat dipahami sepenuhnya berdasarkan rasio (akal), oleh karena itu hukum alam (kodrat) merupakan produk dari rasio manusia, sebab tercetus dari pemikiran manusia. Perilaku manusia yang bak atau buruk, diterima atau ditolak oleh manusia lain, semuanya atas dasar kesusilaan dari rasio manusia, bukan berasal dari rasio Tuhan”. Konsep lain Grotius adalah Ius Gentium (hukum bangsa-bangsa), dikatakannya “mengingat hukum alam (kodrat) adalah berdasarkan rasio manusia, maka negara dipandang sebagai hasil dari suatu perjanjian logis antara sesame warga negara demi keselamatan bersama. Itulah sebabnya dikatakan, Grotius sebagai peletak dasar hukum bangsa-bangsa positif (hukum Internasional positif) yang dituntun berdasarkan hukum alam (kodrat) oleh karena itu negara-negara harus menghormati dan mentaati perjanjian-perjanjian internasional, karena pada prinsipnya menurut asas hukum alam (kodrat), bahwa “perjanjian itu harus ditepati” (pacta sunt servanda). (Widiada Gunakaya, 2018 : 287-288).
Menurut Van Apeldoorn, pendapat Grotius tidak konsekuen, karena ia juga sebenarnya mengakui juga hukum lain yang berdasarkan ketuhanan. Hukum yang berasal dari Tuhan ini misalnya termuat di dalam Kitab Suci. Dalam bukunya  De Jure Belli ac Pacis, Grotius mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta dari alam semesta. Jadi dengan demikian, hukum alampun secara tidak langsung merupakan ciptaan Tuhan juga (disitasi dari Lili Rasjidi, 1982 : 30).
Tokoh aliran hukum alam yang rasional lainnya adalah Immanuel Kant, beliau inilah sebenarnya pemikiran hukum alam yang rasional sampai ke puncak kegemilangannya. Kant mengganti metode psycologis dan empiris dengan metode kritis yang berdasarkan pada segi akal. Sebagai hasil pengamatan terhadap akal manusia, Kant membagi akal tersebut menjadi 3 yaitu : berfikir-berkehendak-merasakan. Pertama berfikir, akal manusia itu menyangkut : mengetahui, memahami, dan menyadari lewat alat-alat panca indera dan fikiran. Kedua berkehendak, membahas tentang masalah moral dan kesusilaan. Ketiga merasakan, menyangkut tentang estetika.
Metode Kant yang kritis dan transendental bermaksud hendak menganalisa dan mengemukakan bahwa pengertian kita tentang segala hal yang merupakan gejala-gejala di lingkungan kita adalah gejala-gejala yang memilik sifat dan corak yang kita tentuka sendiri. Sebab, demikian pendapatnya, apa yang disebutnya sebagai suatu kebenaran yang sejati dari gejala-gejala tadi tidak akan pernah kita ketahui. Kebenaran sejati yang disebutnya dengan “ding an sich” berada dalam satu dunia yang dapat kita raba, baik dengan panca indera maupun dengan akal kita. Kebenaran tersebut akan tetap merupakan hal yang tidak akan dapat diketahui oleh kita. (Widiada Gunakaya, 2018 : 289-290).
Penganut aliran hukum alam rasional lainnya adalah Rudolf Stammler, beliau adalah salah seorang yang mengikuti sistem pemikiran Kant (para pengikut Kant disebut dengan Kantianisme) dan Stammler ini dapat digolongkan sebagai Neo Kantian. Stammler sebagaimananya halnya Kant juga mengemukakan metode kritis dan transendental, serta pemikiran hukum alam bersifat tidak abadi, namun ia sendiri tetap sebagai penganut dari aliran hukum alam (yang rasional), hanya saja menurutnya dasar dari hukum alam adalah “kebutuhan manusia”. Dikatakan demikian karena yang namanya kebutuhan manusia itu berubah-ubah sepanjang waktu dan tempat, akibatnya, hukum alam yang dihasilkannya pun akan berubah-ubah pada setiap tempat dan waktu. Dikaitkan dengan hukum, menurut Stammler : “adil tidaknya sesuatu hukum terletak pada dapat tidaknya hukum itu memenuhi kebutuhan manusia”. (Widiada Gunakaya, 2018 : 291).


B.     Aliran Positivisme Hukum
Menurut Lili Rasjidi (1982 : 34-25), sebelum lahirnya aliran ini telah berkembang suatu pemikiran di dalam ilmu hukum yang dikenal dengan aliran Legisme. Pemikiran hkum ini berkembang sejak abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai Negara, tidak terkecuali Indonesia.
Itulah sebabnya dikatakan, bahwa positivisme hukum ini adalah aliran dalam filsafat (teori) hukum yang berpandangan, bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja.
Di Inggris, aliran Legisme atau Positivisme analitis dari Austin ini mendapat pengaruh pula dari filsafat positivismenya August Comte dalam Cours de Philosophie Positieven, karena kurangnya perhatian Austin terhadap hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) serta dijauhkannya dari nilai-nilai baik dan buruk, dan hal-hal yang menyangkut keadilan.
Aliran Positivisme hukum ini di dalam perkembangannya memunculkan dua sub aliran yang terkenal yaitu :
1.      Aliran Hukum Positif yang analitis
2.      Aliran hukum positif yang murni.
(disitasi dari Widiada Gunakaya, 2018 : 292-294).
Titik kuat :
1.      Hakikat hukum adalah perintah , semua hukum positif adalah perintah dari yang berdaulat atau penguasa .
2.      Keputusan Keputusan dapat didapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dulu , tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan social , kebijakan serta moralitas .
Titik lemah :
1.      Ilmu hukum hanya bersangkut paut dengan hukum positif , tanpa memerhatikan kebaikan atau keburukan dari hukum positif itu sendiri .
2.      Tugas dari ilmu hukum hanyalah menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dari system hukum modern, dan unsur-unsur yang bersfat historis tidak perlu mendapat perhatian .
3.      Hukum tidak beraitan dengan penilaian baik buruk , sebab penilaian itu berada diluar bidang hukum .
4.      Tidak mengakui hukum yang hidup di dalam masyarakat.
5.      Menentang pemikiran dar penganut hukum alam maupun mazhab sejarah
6.      Hukum positif berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan apakah hukumnya dan bukan bagaimana hukum yang seharusnya .
7.      Masukan masukan dari disiplin ilmu ini sangat ini sangat diperlukan dalam rangka merumuskan norma hukum yang baik .
( Sumber : Buku Pengantar Ilmu Hukum , Dr.A. Widiada Gunakaya, S.H., M.H, Hal 292-296 )

C.    Aliran Utilitarianisme
Tokoh terkemuka dari aliran ini adalah Jeremi Bentham (1748-1832), yaitu filosuf yang pada akhirnya dinilai lebih berhak untuk menyandang title “bapak” ilmu hukum Inggris daripada  John Austin (1790-1859) demikian Dias mengatakan (Lihat Satjipto Rahardjo, 1982 : 239). 
Tujuan akhir dari perundanng-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan yang paling besar dari sejumlah terbesar rakyat. Prinsip kebahagiaan yang terbesar ni berakar sangat kuat pada keyakinan Bentham, dan dengan demikian sangat menentang setiap teori yang mengajarkan hak-hak asasi yang tidak dapat diganggu gugat. Di dalam Hukum HAM berkat pengaruh Bentham telah terjadi peralihan dari penekanan pada hak-hak alami kepada keagungan kebahagiaan sosial untuk bagian terbesar, jelas-jelas menggunakan pemikiran Bentham. (Widiada Gunakaya, 2018 : 305-306).
Titik kuat:
Prinsip kebahagiaan yang terbesar ini berakar sangat kuat pada keyakinan Bentham, dan dengan demikian sangat menentang setiap teori yang mengajarkan hak-hak asasi yang tidak dapat di ganggu gugat. Di dalam hukum HAM berkat pengaruh bentham telah terjadi peralihan dari penekanan pada hak-hak alami kepada keagungan kebahagiaan sosial untuk bagian terbesar, jelas-jelas menggunakan pemikiran Bentham. 
(Sumber : Buku Pengantar Ilmu Hukum , Dr.A. Widiada Gunakaya, S.H., M.H, Hal 305-306)
Titik lemah:
      pemidanaan menurut Bentham harus bersifat spesifik untuk setiap kejahatan dan seberapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegah nya kejahatan yang lebih besar.

D.    Mazhab Sejarah
Pendasar aliran ini adalah Carl Friedrich von Savigny, menegaskan ini ajarannya bahwa “das Recht ist nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke, artinya : “hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh  dan berkembang bersama masyarakat”. Selanjutnya von Savigny mengatakan bahwa “apa yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa. Hukum berkembang dari suatu masyarakat sederhana yang tercermin pada setiap tingkah laku individu-individu kepada masyarakat yang kompleks, dimana kesadaran hukum rakyat nampak pada ucapan-ucapan para ahli hukumnya” (Lili Rasjidi, 1982 : 40-41) Lihat Widiada Gunakaya, 2018 : 307.
Hakikat dari setiap sistem hukum, menurut Savigny adalah sebagai pencerminan jiwa dari rakyat yang mengembangkan hukum itu. Dikemudian hari hal tersebut oleh G. Puchta, murid setia Savigny, dicirikan sebagai Volksgeist. Menurut Puchta, semua hukum adalah perwujudan dari kesadaran yang umum ini.
Berkaitan dengan aliran sejarah, perlu dikemukakan seorang tokoh lainnya, mengingat sumbangannya yang besar terhadap perkembangan ilmu hukum, yakni Sir Henry Maine dengan bukunya yang terkenal berjudul Ancient Society merupakan hasil penelitiannya yang bersifat antropologis.
Titik lemah:
1.      Tidak diberikan tempat bagi ketentuan hukum dalam bentuknya yang tertulis (perundang-undangan).  (Widiada Gunakaya, 2018 : 310).
2.      Tidak menganggap penting arti undang undang, padahal dalam dunia modern ini undang undang sangat perlu untuk memberikan peranan yang progresif terhadap hukum dan aliran ini juga tidak mau menerima unsur unsur hukum asing walaupun unsur unsur itu bersifat baik atu bermanfaat.
( Sumber: Buku Pengantar Ilmu Hukum , Lukman Santoso Az Yahyanto, S.H., M.H., Hal 108-110 )

E.     Aliran Sociological Jurisprudence
Aliran ini tumbuh dan berkembang di Amerika dipelopori oleh Roscoe Pound, Benjamin Cardozo dan Kontorowics. Tidak disangkal bahwa ajaran sociological jurisprudence ini tergolong airan-aliran sosiologis di bidang hukum yang dibenua Eropa dipelopori oleh seorang ahli hukum bangsa Austria bernama Eugen Ehrlich (1826-1922).
Bagi Ehrlich, tertib sosial didasarkan pada fakta diterimanya hukum yang didasarkan pada aturan dan norma sosial yang tercermin dalam sistem hukum. Ehrlich beranggapan bahwa mereka yang berperan sebagai pihak yang mengembangkan sistem hukum harus mempunyai hubungan erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan.
Roscoe Pound yang merupakan tokoh lain dari aliran Sociological Jurisprudence terkenal dengan teorinya, bahwa “hukum adalah alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law is a tool of social engineering/Hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat). (Widiada Gunakaya, 2018 : 311-312).
Titik Kuat:
1.      Hukum baru (Sociological Jurisprudence) akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (Widiada Gunakaya, 2018: 311).
2.      Menurut Widiada Gunakaya dalam (Lili Rasjidi: 311) mengatakan bahwa Sociological jurisprudence merupakan suatu teori hukum yang mempelajari pengaruh hukum dalam masyarakat dan sebagainya dengan pendekatan dari hukum ke masyarakat.
3.      Hukum adalah alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law is a tool of social engineering / hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat).
4.      Aliran hukum ini sangat mementingkan hukum yang hidup di dalam masyarakat (Widiada Gunakaya, 2018: 314).
Titik Lemah:
1.       Hukum disini dijadikan sebagai alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law is a tool of social engineering/Hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat) yang merupakan teori dari Roscoe Pound. (Widiada Gunakaya, 2018 : 312)

Adapun tokoh tokoh sebagai pelopor nya aliran ini antara lain Roscoe Pound, Benjamin Cardozo dan Kontorowics.

F.     Aliran Pragmatical Legal Realism
Secara umum realism diartikan sebagai upaya mempersepsi suatu realitas (benda) atau segala sesuatu apa adanya atau sebagaimana adanya tanpa idealisasi dan spekulasi. Menurut Widiada Gunakaya dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum : 315, menyebutkan bahwa realisme hukum bermakna memandang atau mempersepsi hukum sebagaimana adanya tanpa idealisasi dan spekulasi atas bekerjanya suatu realitas hukum yang berlaku.
Tokoh Aliran ini antara lain John Chipman Gray, Oliver Wendell Holmes, Karl Llewellyn, Jerome Frank, William James.
Aliran Pragmatical Legal Realism dalam perjalanan waktu berkembang menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
a.       Aliran Realism Hukum Amerika
Tokoh-tokohnya adalah Oliver Wendell Holmes dan Jerome Frank. “The path of Law” berasal dari Holmes, sedang “Law in the modern mind” berasal dari Jerome Frank.
Tokoh-tokoh utama aliran Realisme Amerika antara lain:
1)      Charles Sanders Peirce (1839-1914)
2)      John Chipman Gray (1839-1915)
3)      Oliver Wendell Holmes Jr. (1841-1935)
4)      William James (1842-1910)
5)      John Dewey (1859-1952)
6)      Benjamin Nathan Cardozo (1870-1938)
7)      Jerome Frank (1889-1957)
b.      Aliran Realisme Skandinavia
Realisme Skandinavia adalah dasar-dasar filsafat yang memberikan kritik-kritik terhadap dasar-dasar metafisika hukum (Skandinavian realism is essentialy a philosophical critique of the metaphysical foundations law).
Menurut Friedman, keberadaan realisme Skandinavia telah memberikan sumbangan yang amat besar kepada teori hukum, yaitu tentang penggunaan pengertian kehendak kolektif, satu kehendak umum atau kehendak negara (a collective or general will or of the state) oleh ilmu hukum analitis. (Widiada Gunakaya, 2018 : 315-321).
Titik Kuat:
1.      Hukum itu bermakna memandang atau mempersepsi hukum sebagaimana adanya tanpa idealiasi dan spekulasi atas bekerjanya suatu realitas hukum yang berlaku.
Titik Lemah:
1.      Para ahli hukum menolak adanya pengertian-pengertian mutlak tentang keadilan yang menguasai dan memberi pedoman pada sistem-sistem hukum positif, sedangkan mengenai nilai-nilai hukum gerakan realisme skandinavia mempunyai pendirian yang sama dengan filsafat relativisme mereka menolak pendirian yang mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan tentang hukum dapat disalurkan secara memaksa dari prinsip-prinsip tentang keadilan yang tidak dapat diubah.

G.    Aliran Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies)
Critical Lega Studies merupakan arus pemikiran hukum yang mencoba ke luar dari hegemoni atau pikiran-pikiran yang dominan dari para ahli hukum Amerika yang pada saat itu tengah dilanda kemapanan.
Aliran ini berargumentasi bahwa tidak mungkin proses-proses hukum (entah dalam proses pembentukan undang-undang atau proses penafsirannya) berlangsung dalam konteks bebas dan atau netral dari pengaruh-pengaruh moral, agama dan pluralisme politik.
Ada beberapa model pemikiran dalam aliran ini yaitu pertama “pemikiran yang diwakili oleh Robert M. Unger, yang mencoba mengintegrasikan dua paradigma consesus”, kedua “arus pemikiran yang diwakili oleh David Kairys yang mewarisi tradisi pemikiran Marxis atau tepatnya mewarisi kritik Marxis terhadap hukum liberal yang hanya dianggap melayani sistem kapitalisme”, ketiga “arus pemikiran yang diawali oleh Duncan Kennedy, yang menggunakan ekletis yang membaurkan sekaligus perspektif strukturalis fenomenologis dan neo Marxis”. (Widiada Gunakaya, 2018 : 322-323).
Jadi, pada dasarnya tujuan dari Studi Hukum Kritis adalah untuk menghilangkan halangan atau kendala-kendala yang dialami individu-individu yang berasal dari struktur sosial dan kelas (dalam masyarakat). Dengan hilangnya kendala-kendala itu diharapkan individu-individu itu dapat memberdayakan diri untuk mengembangkan pengertian baru tentang keberadaannya serta dapat secara bebas mengekspresikan pendapatnya.

Titik Kuat :
1.       Ajaran Studi Hukum Kritis ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu.
2.       Aliran Studi Hukum Kritis ini mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan individual dengan batasan-batasan tertentu. Karena itu aliran ini banyak berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan.

Titik Lemah :
1.      Aliran Studi Hukum Kritis ini mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik, dan sama sekali tidak netral
2.      . Ajaran Studi Hukum Kritis ini kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benar-benar objektif. Karena itu, ajaran Studi Hukum Kritis ini menolak keras ajaran-ajaran dalam aliran positivisme hukum
3.      Aliran Studi Hukum Kritis ini menolak antara teori dan praktek, dan menolak perbedaan teori dan praktek, dan menolak juga perbedaan antara fakta (fact) dan nilai (value), yang merupakan karakteristik dari paham liberal. Dengan demikian, aaliran Studi Hukum Kritis ini menolak kemungkinan teori murni (pure theory), tetapi lebih menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap transformasi sosial praktis
( Widiada Gunakaya, 2018 : 325 )




H.    Aliran Feminisme (Feminisme Yurisprudence)
Aliran ini dipandang sebagai aliran awalnya berada pada payung Critical Legal Studies, namun kemudian aliran ini muncul dan berkembang justru sebagai respon kritis terhadap aliran Critical legal Studies. (Lili Rasjidi dan Ira Thania, 2007 : 69).
Feminisme telah membuat banyak perbedaan dalam hukum, banyak penjelasan penting mengenai fungsi hukum yang represif dan ideologi telah terus menerus dilakukan perombakan. Feminisme menolak kritik aliran Critical Legal Studies tentang hak-hak sebagai ideologi represif, yang menyatakan bahwa “hal ini sangat berlebihan, karena ketertarikan pada ideologi hukum mewakili satu-satunya strategi yang secara efektif memilih respon terhadap kebutuhan masyarakat yang subordinat”. (Widiada Gunakaya, 323-324).
Titik Kuat:
1.      Aliran ini memberikan peluang pada perempuan agar setara dengan laki-laki dalam bidang sosial, politik, dan hukum.
2.      Aliran ini menjunjung tinggi kesetaraan perempuan  sedangkan hukum itu sendiri menempatkan perempuan di bawah laki-laki.
Titik Lemah:
1.      Masih banyak yang pro dan kontrak para ahli hukum dalam membahas aliran ini.
Tokoh-tokoh:
1.      Ann C. Scales
2.      Catherine Mackinnon
3.      Christine A. Littleton
4.      Robbin West
5.      Lucinda M. Finley
6.      Deborah L. Rhode
7.      Katherine T. Barlett

I.       Aliran Semiotika (Semiotika Jurisprudence)
Semiotica Jurisprudence tidak lain mencoa memadukan analisi-analisi semiotika dan analisi hukum, meskipun pada akhirnya ada juga pemikiran yang cukup ekstrim dengan mencoba mengembangkan paradigma secara mandiri.  (Lili Rasjidi dan Ira Thania, 2007 : 69).
Namun demikian masing-masing aliran pemikiran yang berbeda ini kemudian menjelaskan teori (hukum) dalam sau realitas seperti gambaran satu mata uang yang memiliki dua belah bagian yang berbeda. (Widiada Gunakaya, 2018 : 325).

TOKOH SEMIOTIK
1.      Charles Sanders Peirce (1839-1914) 
Filsuf Amerika ini terkenal dengan pemikiran pragmatisnya yang menyatakan bahwa tidak ada objek atau konsep yang memiliki secara inheren keabsahannya. Kebermaknaannya hanya ada apabila objek atau konsep tersebut diterapkan dalam praktik.
2.      Roland Barthes (1915- 1980) 
Roland Barthes adalah tokoh strukturalis terkemuka dan juga termasuk ke dalam salah satu tokoh pengembang utama konsep semiologi dari Saussre. Bertolak dari prinsip-prinsip Saussure, Barthes menggunakan konsep sintagmatik dan paradigmatik untuk menjelaskan gejala budaya, seperti sistem busana, menu makan, arsitektur, lukisan, film, iklan, dan karya sastra. Ia memandang semua itu sebagai suatu bahasa yang memiliki sistem relasi dan oposisi. Beberapa kreasi Barthes yang merupakan warisannya untuk dunia intelektual adalah (1) konsep konotasi yang merupakan kunci semiotik dalam menganalisis budaya, dan (2) konsep mitos yang merupakan hasil penerapan konotasi dalam berbagai bidang dalam kehidupan sehari-hari.
3.      Jacques Lacan (1901-1981)
Jacques Marie-Émile Lacan atau Jacques Lacan saja (baca: zhak lakang) (lahir 13 April 1901  meninggal 9 September 1981 pada umur 80 tahun) adalah psikoanalis Prancis terkenal yang sezaman dengan Roland BarthesMichel Foucault dan Derrida.  Ia mengembangkan psikoanalisa Sigmund Freud berbasis semiologi. Fokus utama studinya adalah ketidaksadaran, yang sebelumnya diperkenalkan Freud. Lacan menggali kembali ketidaksadaran ini dengan bantuan model linguistik Saussure dan memusatkan kajiannya pada percakapan antara analis (psikiater / psikolog) dan analisa pasien.  Percakapan itu, menurutnya, merupakan seuntai rantai penanda-penanda.  Penanda-penanda itu adalah mimpi, gejala neurosis, salah tindak, dan lainnya.
Titik Kuat:
1.      Aliran yang mencoba memadukan analisis-analisis semiotika dan analisis hukum.
2.      Aliran semiotika juga lebih memperhatikan pada analisis struktural dan semantik, dan Analisi Non Referensial dan tradisi amerika lebih berakar dalam Pragmatisme dan Teori arti referensial (Lili Rasjidi dan Ira Thania, 2007 : 69).
Titik Lemah:
1.      Aliran ini menjelaskan teori hukum dalam satu realitas satu mata uang yang berbeda (Widiada Gunakaya, 2018 : 325)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar